Abdul Mu’ti, Profesor yang “Menetas dari Telur Pecah” Netijen Sharing by Madi - August 12, 2020August 12, 2020 Abdul Mu’ti lahir di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 2 September 1968. Putra pertama dari pasangan Djamjadi dan Kartinah ini menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di madrasah. Dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Manafi’ul Ulum (Kudus, 1980), Madrasah Tsanawiyah Negeri (Kudus, 1983), Madrasah Aliyah Negeri Purwodadi Filial di Kudus (Kudus, 1986). Pendidikan tingginya ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (Semarang, 1991), Pembibitan Calon Dosen IAIN (Jakarta, 1992-1993), Flinders University of South Australia (Adelaide, 1997) dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2008). Masa Kecil Mu’ti Terlahir dari keluarga petani, masa kecil Mu’ti tak lepas dari aktivitas membantu orang tua dan kakeknya: bertani, berkebun dan beternak. Etos kerja dan semangat pantang menyerah sudah menjadi bagian dari karakter yang diwariskan orang tuanya. Selepas menamatkan jenjang pendidikan menengah di MAN Purwodadi filial di Kudus (sekarang menjadi MAN 1 Kudus) pada tahun 1986, Mu’ti meminta ijin kuliah kepada orang tuanya. Djamjadi ayahnya, hanya lulusan MTs, sementara Kartinah (ibunya) hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat, setara SD). Meskipun demikian mereka memegang prinsip, kami boleh saja bodoh tetapi anak-anak kami harus pintar. Mereka tak perlu pikir panjang memberikan ijin bagi sulungnya. Mu’ti diterima di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan menamatkan pendidikan sarjana pada tahun 1991. Sebagai mahasiswa pertama dari kampungnya, Mu’ti memikul beban berat. Gagal menyelesaikan studi berarti menutup masa depan anak kampung lainnya yang juga bermimpi kuliah di universitas. Kegagalan akan menumbuhkan skeptisisme di kalangan orang tua, buat apa kuliah mahal-mahal toh akhirnya jadi petani atau kuli bangunan juga. Dua pekerjaan yang jamak dilakoni penduduk kampungnya. Untuk menekan biaya hidup di Semarang, setiap dari kampung Mu’ti selalu membawa bekal makanan pokok. Dua bekal yang tak pernah ketinggalan adalah beras dan telur. Di tengah himpitan ekonomi masing-masing, bude dan pakleknya juga selalu membantu uang saku sebisa mereka. Cerita Telur Pecah Soal bekal telur ini ada cerita tersendiri. Hj. Shofiyah budenya, adalah peternak ayam petelur. Sementara Ibu Mu’ti menjualkan telur produksi Hj. Shofiyah di pasar. Karena itu setiap kali berangkat Mu’ti selalu memperoleh bekal berupa telur. Entah faktor perjalanan jauh atau memang telur yang dibawakan adalah telur sortir karena retak, sesampainya di kos sebagian telur bekal ini ada saja yang pecah. Karena masih dalam wadah tertutup rapat, telur itu masih bisa dikonsumsi. Telur-telur pecah ini selalu menjadi ledekan teman kos. Mu’ti menganggap gurauan saja. Sesampainya di kos, beras dan telur-telur pecah itu segera dimasak untuk makan malam bersama. Harapan kepada Sang Profesor SK kenaikan pangkat sebagai Guru Besar diterima Mu’ti ketika berada di kampung halaman. Sebuah kebetulan yang (sepertinya) sudah diskenariokan Allah. Menerima pengakuan atas kerja keras dan dedikasi sebagai dosen di tanah kelahiran, di tengah keluarga besar yang selalu mendukungnya untuk maju dan pantang menyerah. Perjalanan Mu’ti menjadi Guru Besar tidaklah mudah. Prosesnya dimulai tahun 2009, saat masih menjadi pengajar di UIN Walisongo Semarang. upaya pertama itu terkendala perubahan regulasi. Akhirnya pada tahun 2019, di tengah kesibukan dan aktivitas sebagai Sekum PP Muhammadiyah dan Ketua BSNP periode 2019 – 2023, usulan kenaikan pangkat diajukan kembali dan baru pada Agustus 2020 ini ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim. Karena itu, kalimat pertama yang keluar setelah rasa syukur kepada Allah adalah ucapan terimakasih kepada Ibu dan keluarga di kampung. “Mereka tidak tahu apa itu profesor, tapi mereka telah melahirkan seorang Profesor.” Adalah sebuah pernyataan yang menegaskan betapa besar peran keluarga dalam perjalanan karir Mu’ti. Saya, yang kebetulan turut hadir dalam tasyakuran kecil yang digelar di rumah orang tuanya sehari setelah SK beredar, merasakan sendiri betapa kebahagiaan itu tidak hanya dinikmati Mu’ti beserta istri dan putra-putrinya saja, tetapi oleh seluruh keluarga besarnya. Mereka berharap Dul, panggilan akrabnya di kampung, tetap menjadi pribadi yang hangat, sederhana dan apa adanya. Selamat, Prof! Penulis Sam Elqudsy, disarikan dari suaramuhammadiyah.id Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related