Beragama dengan Gembira ala NU dan Muhammadiyah Opini Media by Madi - February 25, 2019March 24, 2019 Cuaca senyap dengan langit sedikit mendung pada pagi itu tetap membawa saya lari pagi di JEC (Jogja Expo Center). Sebuah pusat konvensi yang ada di Yogyakarta. Tak jauh dari tempat saya tinggal. Setelah berlari beberapa kali putaran, saya putuskan berhenti. Ponsel yang sedari tadi terpasang aktif apliksi penghitung langkah saya matikan. Lalu, beralih membuka WA, dan membalas beberapa pesan yang masuk. Jempol saya kemudian bergeser ke WA stories. Tak sengaja saya mendapati postingan unik milik seorang kawan. Sebuah capture dialog antara akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu di twitter. Isi dialognya menggelitik. Saya kutipkan isinya: NU Garis Lucu : “Muhammadiyah itu sahabat kami. Meski di kubur nanti tidak dapat kiriman tahlil, percayalah kami akan berbagi berkat bersama-sama” Muhammadiyah Garis Lucu : “Kawan-kawan NU jangan sungkan mampir ke kompleks perumahan warga Muhammadiyah di surga, insyaallah pahala jariyah yang tak kenal lelah selama di dunia. Mari berhaha-hihi sambil menikmati berkat bersama yang antum sekalian bawa” Saya terkekeh membacanya. Betapa dua akun ini cukup menghibur di sela istirahat saya. Ya, meski ke dua akun ini hanyalah parodi yang tentu saja bukan akun resmi yang diluncurkan baik PBNU maupun PP Muhammadiyah. Tetapi justru ada hal menarik yang bisa dibaca dari guyonan dua akun tadi. Saya menangkap sebuah pesan tentang narasi cara beragama yang menggembirakan. Di tengah menguatnya politik identitas yang menggejala di tengah hiruk pikuk perpolitikan hari ini, identitas agama memang menjadi salah satu unsur yang paling mendominasi. Di media sosial misalnya, ujaran kebencian, tudingan, cecaran, dan persebaran hoax yang dikaitan dengan agama masih terus diproduksi. Apalagi kalau agama sudah dihubung-hubungkan dengan pilihan politik tertentu, adu argumen yang berujung debat kusir hampir selalu mewarnai kolom-kolom komentar media sosial. Cara beragama yang ambisius ini lantas melahirkan sekat-sekat. Pihak-pihak yang berbeda paham keagamaannya berdiri saling berhadap-hadapan dengan ego masing-masing. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah narasi keagamaan yang tegang, kaku, dan menyeramkan. Keadaan yang sedemikian sumpek itu perlu suasana baru agar keberagamaan kita bisa berubah agak lebih cair, yakni menghadirkan narasi keagamaan yang menggembirakan. Cara beragama yang selow seperti yang ditunjukkan oleh akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu dalam dialog di awal. Dialog itu bisa jadi salah satu gambaran betapa seberbeda apa pun pemahaman keagamaan kita, tak lantas menutup ruang untuk saling bercanda dan bergembira. Setiap kelompok keagamaan, apa pun itu, memang punya kewajiban untuk mendakwahkan kebenarannya kepada yang lain. Mewartakan agama tentu tugas mulia. Akan tetapi, jangan sampai upaya itu jatuh menjadi sikap penonjolan identitas. Melebih-lebihkan diri dan menganggap pemahamannya sebagai satu-satunya yang paling benar. Apalagi sampai jatuh ke arah pemaksaan. Harus disadari bahwa setiap orang atau kelompok sudah pasti punya konsep kebenaran versi masing-masing yang pasti tak musti sama. Karena itu, yang jauh lebih penting dalam dakwah justru menghadirkan agama yang memuat nilai-nilai substansial dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Menyampaikan agama secara manusiawi. Menghadirkan kegembiraan ini misalnya. Agama tak harus selalu disimbolkan dengan hukum syariat yang kaku atau ritus-ritus peribadatan belaka, tapi juga oleh senyum, gelak tawa dan kegembiraan. Kegembiraan dalam beragama penting dihadirkan untuk membawa kita menjadi lebih cair dan kembali menemukan watak-watak kemanusiaan yang alami. Sebab dengan bergembira, kita sama-sama menjadi manusia yang sebenarnya. Yang membutuhkankan tawa, canda, aman, dan nyaman secara bersama. Cara hubungan beragama dengan selow seperti NU dan Muhammadiyah barangkali bukan suatu yang istimewa, sebab keduanya memang sudah kadung disebut saudara kembar sejak lama. NU dan Muhammadiyah, meski memiliki tradisi dan corak keberislaman yang berbeda, tak lantas membuat keduanya tersekat dalam kepahaman yang kaku.Tapi justru sebaliknya, dua ormas terbesar di Indonesia ini mampu membangun relasi hubungan antar kelompok keberagamaan yang harmonis, kompak dan gembira. Menghadirkan kegembiraan inilah yang seharusnya dilakukan setiap orang dan kelompok keagamaan. Sebab hadirnya agama bukanlah membawa ketakutan, tapi justru harus bergembira dan menggembirakan orang lain. Mari beragama dengan cara gembira dan saling menggembirakan. Gayeng, kalau pakai istilahnya orang Jogja. Penulis : Izul Adib, seorang santri tulen, alumnus S1 Ilmu Sejarah – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro, Semarang. Sumber : islamnet.id Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related