Ditunjuk sebagai Ketua PP Muhammadiyah, AR Fachruddin Sempat Stress Netijen Sharing by Madi - March 5, 2019March 5, 2019 Tulisan Ini adalah petikan wawancara Butet Kertaredjasa dan Seno Gumira Ajidarma sebagaimana dimuat di majalah Jakarta Jakarta tahun 1988. Berikut Cerita Pak AR menjelaskan suasana kebatinan saat pertama kali dilantik sebagai Ketua PP Muhammadiyah. KH. AR Fachruddin, berpidato di Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tahun 1985 Terus terang, waktu saya jadi ketua, saya sampai setengah sarap. Stress. Sebab, menurut saya, pemimpin Muhammadiyah itu mesti Kyai betul-betul. Kyai yang sungguh-sungguh, kyai yang mengerti agama. Waktu itu, mestinya yang mimpin, yang terpilih adalah K.H. Fakih Usman. Dari Gresik. Itu tahun 1968. Muktamarnya di Yogya. Kyai itu pernah menjadi anggota DPR, menjadi Menteri Agama. Rumahnya di Jakarta di jalan Sabang. Dan kami, mulai dari yang muda-muda tak lelah membujuk Kyai. Habis siapa lagi. Kyai Badawi sudah sakit-sakit. Siapa kalau tidak Kyai. Waktu itu dia masih aktif di politik. Karena terusss begitu, akhirnya dia mau. Ya, sudahlah bismillah. Tapi dengan syarat. Apa syaratnya? Di Yogya harus ada A.R. Fachrudin dan H. Djindar Tamimy. Di Jakarta harus ada Pak Rasyidi dan Hamka. Boleh, kalau begitu. Sampai akhirnya di Muktamar bisa kita atur, Saya AR Fakhrudin masuk, pak Rosyidi masuk, Hamka masuk. Sudah. Selesai muktamar, itu tanggal 27 September kalau tidak salah, tahun 1968. Tanggal 1 Oktober, atau November, Kyai Fakih meninggal. Kebetulan, kami yang delapan orang, diantar ke Jakarta. Untuk musyawarah. bagaimana baiknya, menyusun komposisi. Hari Rabu waktu itu. Beliau masih bisa bicara, tapi tak ada suaranya. Beliau sudah menyiapkan surat; saya akan berobat ke negeri Belanda dengan pembiayaan dari Menteri Sosial, Bapak Mintaredja S.H. Selama saya berobat di negeri Belanda, maka. pimpinan Muhammadiyah sehari-hari, untuk di Yogya saya serahkan pada AR Fakhrudin dan saudara Taminy. Sedang di Jakarta saya serahkan pada Prof. Dr. H.M. Rasyidi dan Prof. Dr. Hamka. Sudah, Kemudian hari Kamis, bisa jalan ke Demak dan bisa ngomong. Lalu saya pulang dari rumahnya. Beliau sehat, betul-betul sehat. Kamis, belum ada keputusan. Kami belum datang, tau-tau kami terima telepon dari rumahnya, ia sudah meninggal. Waktu itu saya di fait accomply, ditunjuk sebagai pejabat ketua. Tahun 1969 ada sidang Tanwir, Tanwir itu di bawah Muktamar. Jadi kalau tidak ada Muktamar, Tanwir itu sebagai sidang tertinggi. Pemimpin sidang bilang, saudara-saudara yang selama ini menjabat sebagai pejabat ketua adalah AR Fakhrudin. Jadi, resminya saya menjadi Ketua PP itu, mulai tahun 1969. Nah disitu saya merasa, kok saya. Ada yang lebih tua-tua dari saya. Saya tidak bisa bicara, semua sudah memutuskan itu. Sampai ada yang dinamakan stress mungkin tiga bulan. Saya datang ke PKO (rumah sakit Muhammadiyah di Yogya) lalu diperiksa. “Ah engga kenapa-napa nih,” kata dokternya. Saya dikasih vitamin. Sampai saya pindah di rumah ini tahun 1972 awal itu, saya sampai terlalu gelisah. Dalam hati saya bertanya, apa saya sudah hampir mati? Sebab, kalau saya sudah hampir mati, istri dan anak-anak saya beri tahu atau tidak? Kalau tidak saya beritahu alangkah terkejutnya, tapi kalau saya beritahu tentu juga terkejut. Itu tahun 1972, saya menjadi Imam sholat jemaah membaca Al Fatihah tidak bisa. Terputus-putus, mustinya Alhamdulillahhi robbal alammin nah saya Alham… du… lilah. Biasanya selesai Sholat saya memberi nasehat, tapi itu tidak. Saya merasa saya ini bukanlah Kyai. Kalau saya melihat riwayat ketua-ketua PP Muhamadiyah yang sembilan orang, ini memang kyai semua. Waktu saya pidato sebagai ketua, saya katakan: Kalau toh saya ini tidak bisa menambah baiknya Muhammadiyah, saya minta doa kepada saudara-saudara, mudah-mudahan saya tidak menjelekkan.AR Fachrudin Sumber : darussalamcentre Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related