Kecewa pada Muhammadiyah, Layakkah? Netijen Sharing by Madi - September 1, 2025September 1, 2025 Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam tertua di Indonesia yang didirikan pada 1912, memiliki sejarah panjang dalam menyikapi dinamika sosial dan politik dengan penuh kearifan. Masih dalam suasana peringatan kemerdekaan RI ke-80 ini, di akhir Agustus mendadak kita mengalami peristiwa memilukan. Unjuk rasa yang damai berubah menjadi tragedi pilu. Beredar video represi dan tindakan brutal aparat dalam menghadapi aksi. Hal ini kemudian memicu gelombang protes lebih besar, dan pada rentang waktu yang nyaris bersamaan terjadi aksi perusakan dan penjarahan di beberapa kota. Menyikapi kondisi tersebut, Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan yang pada intinya meminta agar para pejabat dan wakil rakyat menunjukkan empati dan tidak berpongah diri, serta kepada masyarakat diminta menahan diri dan tidak terpovokasi dan berbuat anarki saat menyampaikan aspirasi. Oleh sebagian kalangan pernyataan ini dianggap mengecewakan dan tidak mencerminkan jati diri Muhammadiyah sebagai ormas Islam berkemajuan. Terlebih setelah 16 Ormas Islam, termasuk Muhammadiyah dan NU memenuhi undangan Presiden Prabowo di Hambalang. Mereka menganggap Muhammadiyah telah takluk dan menghamba kekuasaan setelah mendapatkan konsesi tambang dan sejumlah posisi dalam pemerintahan. Belajar dari Sejarah Dalam situasi saat ini, ketika beberapa pihak merasa kecewa dengan sikap Muhammadiyah, penting untuk mengenang pendekatan bijak para pendahulunya, seperti KH. AR Fakhruddin (Pak AR), Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama (1968–1990). Beliau dikenal disegani, termasuk oleh Presiden Soeharto, meski kerap berbeda pandangan. Di masa itu, Pak AR tidak jarang berbeda pendapat dengan Presiden Soeharto namun tidak mengkritik secara terbuka di depan publik, kritik itu disampaikan secara pribadi sehingga tepat sasaran dan tidak memicu kegaduhan di ranah publik. Sebagai contoh misalnya, ketika pemerintah mengusulkan kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal pada 1980-an, Muhammadiyah, di bawah Pak AR, menyampaikan pandangan kritis melalui dialog tertutup dengan pemerintah, menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Pancasila, namun tetap mempertahankan identitas keislamannya. Pendekatan ini membuat suara Muhammadiyah didengar tanpa mengorbankan hubungan dengan pemerintah. Kedewasaan ini menjelaskan mengapa Muhammadiyah, yang usianya lebih tua dari Republik Indonesia, mampu bertahan dan berkembang. Pemimpinnya menguasai seni menahan amarah dan tidak terprovokasi, sebagaimana terlihat dalam sikap Pak AR yang selalu mengedepankan musyawarah. Sebagai anggota Persyarikatan, selayaknya kita senantiasa menjaga kerapatan barisan, teguh pendirian dan taat kepada pimpinan. Informasi yang dimiliki pimpinan kita mestinya lebih banyak, lebih lengkap dan lebih valid daripada kita yang sebagian besarnya melihat kondisi terkini dari sosial media. Kita, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, karena itu tidak boleh merasa lemah dan bersedih hati. Bangsa yang besar senantiasa belajar dari sejarah. Dengan menahan amarah, kita tidak akan mudah terprovokasi dan berlaku anarki. Dengan menahan amarah, insya Allah kita tidak akan terperosok di lubang yang sama berkali-kali. Tabik! Sumur: muriamu.id Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related