Kisah Supranatural Tokoh Muhammadiyah Featured Netijen Sharing by Madi - January 24, 2022January 24, 2022 Oleh Simon Syaefudin (Bagian kedua dari tulisan MuhammadiNU dan NUhammadiyah) Lalu, apakah orang Muhammadiyah punya kelebihan seperti orang NU, misalnya, dalam mengobati orang sakit dengan ayat-ayat Al-Quran? Kita tahu, hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural sangat dijauhi orang Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah, kata Pak Bambang Pranowo, takut mengeksploitasi kemampuan-kemampuan mistikalnya karena khawatir terjebak pada kemusyrikan. Sedangkan orang-orang NU tidak demikian. Mereka menjadikan “kekuatan mistis yang dimiliknya” untuk menunjukkan kebesaran Allah di masyarakat. Pak Hardo dari Pekalongan—cerita Pak Bambang—adalah seorang yang punya kekuatan supranatural yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit aneh nonmedis. Tapi ketika adik Pak Hardo terkena penyakit misterius (merasa dikejar-kejar makhluk gaib), ia tidak bisa menyembuhkannya. Lalu, Pak Hardo datang ke Pak AR minta obat untuk menyembuhkannya. Awalnya Pak AR tidak mau karena tidak pernah merasa punya kekuatan supranatural untuk menyembuhkan penyakit orang. Apalagi mengobati penyakit misterius yang pekat kegaiban. Tapi Pak Hardo tetap memaksanya karena yakin Pak AR bisa menyembuhkannya. Pak AR akhirnya mengiyakan permintaan Pak Hardo. Dan Pak AR hanya minta Pak Hardo membacakan ayat-ayat Al-Quran tertentu untuk adiknya. Hasilnya seperti mukjizat. Ternyata sang adik sembuh dari penyakit misteriusnya. Aku juga pernah menyaksikan seorang tokoh Muhammadiyah mengusir jin dari tubuh Aida, mahasiswi IAIN Yogya asal Filipina. Aida ngekos di Asrama Sabirin (asrama putri IAIN), Jl. Sabirin, Kota Baru, samping SMA Katholik Stella Duce. Aida, kata kiai tersebut, kesurupan jin yang tinggal di bawah pohon mangga yang tumbuh di samping asrama. Dengan bacaan ayat Al-Quran tertentu dan memijat jari kaki dan jari tangan Aida, akhirnya jin pun keluar. Dan Aida pun sembuh. Prof. Dr. Amien Rais, juga pernah mengalami peristiwa supranatural. Hanum Salsabiela Rais dalam bukunya Menapak Jejak Amien Rais menceritakan, Pak Amien waktu menghadap Pak Harto di Bina Graha untuk meminta kehadirannya pada Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, melihat tabir tipis yang memisahkan dirinya dengan Pak Harto. Tabir itu tipis sekali seperti kaca hitam. Pak Amien membatin, apakah tabir itu nyata atau hanya halusinasi? Pak Amien pun memakai kacamatanya untuk meyakinkan apakah tabir hitam itu nyata atau tidak. Dan ternyata meski sudah pakai kacamata, tabir hitam itu tetap ada. Keberadaan tabir hitam itu, pikir Pak Amien, karena Pak Harto marah kepadanya. Maklum Pak Amien adalah tokoh yang berani mengritik tajam kebijakan-kebijakan Pak Harto saat itu. Bahkan Pak Amien minta agar Pak Harto segera mengundurkan diri. Saat itu muka Pak Harto kelihatan seram, kata Pak Amien. Pak Amien yakin Pak Harto sedang marah. Di samping agak merinding, Pak Amien juga gelisah karena pandangannya terhalang tabir hitam tadi. Ketika berada pada titik nadir kegelisahannya, tiba-tiba ada bisikan “malaikat” di hati Pak Amien. “Balaslah tatapan Pak Harto dengan tajam atas nama Allah,” kata bisikan hati itu lirih. Dan… Bismillah, Pak Amien mengikuti perintah “malaikat” tersebut. Seketika itu juga, tabir hitam tadi lenyap. Pak AR dan Pak Amien adalah tokoh Muhammadiyah yang tidak pernah merasa punya kekuatan supranatural dan tak pernah berusaha untuk memiliki kekuatan linuwih itu. Tapi karena kesucian dan keikhlasan niatnya untuk berjuang memperbaiki kehudupan umat, Allah pun memberinya kekuatan supranatural. Persis seperti peristiwa Nabi Musa waktu dikejar Firaun. Ketika berada di jalan buntu karena di hadapannya terbentang Laut Merah dan Musa secara rasional tak akan mampu melewatinya, Allah pun memberikan perintah (melalui Jibril) kepada Musa.“Pukulkan tongkatmu, Musa, ke pasir pantai!” Begitu perintah itu dilaksanakan, Laut Merah terbelah. Dan Musa beserta pasukannya bisa melewatinya. Tampaknya itu pula yang diberikan Allah kepada Pak AR ketika menyembuhkan orang sakit misterius. Begitu pula ketika Pak Amien menghadapi Pak Harto. Mukjizat akan diberikan Allah kepada hamba-Nya yang saleh tanpa diminta jika kondisi terburuk menimpa sang hamba. Karena itu, jangan pernah membenci orang saleh. Sebaliknya “berkumpullah” dengan orang-orang salih. Karena orang saleh itu bisa menjadi “tangan Tuhan” untuk menyembuhkan orang sakit. Baik sakit fisik maupun psikis. Salah satu poin dalam lagu “Tombo Ati”-nya Opick, misalnya, berbunyi “kumpulono orang saleh”. Nenekku, Saodah, waktu aku kecil suka menasihati: berkumpullah dengan orang-orang saleh, nanti kecipratan wanginya. Temanku, Ikhsan Haryono, pernah menceritakan kelakuan anak-anak SMA di kampungnya, Purworejo. Konon, ada lima anak SMA yang agak ugal-ugalan tapi ingin nyoba kesaktian Mbah Mangli di Magelang. Mbah Mangli memang sangat terkenal sebagai kiai yang sakti, mumpuni, dan alim. Jamaah pengajiannya banyak sekali. Tiap pengajian, semua jamaahnya diberi makan. Kalau ada yang tak punya uang, diberi sangu. Uangnya dari mana, gak ada yang tahu. Pokoknya, kata Ikhsan, Mbah Mangli itu kiai yang punya karamah. Kelima anak SMA tadi mendatangi Mbah Mangli di padepokannya. Mereka minta didoakan agar menjadi orang sukses. Dari lima orang tersebut, hanya satu yang tidak mempercayai karamah Mbah Mangli. Dia tak mau minta doa. Dia pede dengan usahanya sendiri. Maklum dia paling pinter di antara lima anak tadi. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Anak-anak SMA tersebut semuanya jadi orang sukses, kecuali satu orang yang tak mau minta doa tadi. Itulah manjurnya doa Mbah Mangli; doa orang saleh. Jadi lagunya Opick, Tombo Ati itu benar. Kumpulono wong soleh jika hidup kita ingin sukses. Karena itu, kita bisa memahami, bila banyak orangtua dari kalangan NU sering datang ke tempat kiai jauh-jauh hanya untuk minta doa. Doanya, agar anaknya jadi orang saleh dan keluarganya mendapat berkah Allah. Dalam istilah NU, orang tersebut ngalap berkah. Ngalap berkah dari kiai menjadi acara rutin tahunan di kalangan masyarakat NU. Pak AR adalah orang saleh. Aku percaya betul dengan kesalehannya karena Pak AR tidak pernah memanfaatkan “aji mumpung”. Memanfaatkan citra kesalehannya untuk kepentingan pribadi. Maklumlah di masyarakat kita, jika ada orang sudah terkenal saleh, lalu masyarakat pun berbondong-bondong minta doa, minta berkah; lalu memberi bingkisan macam-macam untuk orang saleh tersebut. Akibatnya, banyak orang saleh yang tergelincir akibat perlakuan masyarakat yang mengistimewakannya. Pak AR tidak! Ini terlihat dari sikap Pak AR ketika sakit. Suatu ketika, Pak AR diopname. Pak AR memberitahu keluarganya, jangan bilang kepada siapa-siapa, termasuk kepada PP Muhammadiyah. Sakitnya Pak AR harus dirahasiakan. Kalau tidak, nanti banyak orang menjenguk dan memberi bantuan. Pak AR sadar, sakitnya beliau — apalagi diopname — akan merepotkan banyak orang. Pejabat, ulama, tokoh masyarakat, dan jamaah pengajian niscaya akan datang berbondong-bondong menjenguknya.Merepotkan. Tapi ternyata rahasia sakitnya Pak AR bocor juga ke jamaah pengajian wong cilik di Kali Code. Kaum wong cilik yang sangat mencintai Pak AR di pinggir Kali Code itu, tanpa sepengetahuan beliau, urunan untuk membantu biaya opname. Terkumpullah uang 600 ribu rupiah. Pak AR kaget ketika mendapat bantuan dari mereka. Pak AR tak mampu menolak bingkisan uang dari wong cilik tersebut. Keikhlasannya meluluhkan hati beliau. Setelah sembuh, Pak AR pun datang kepada jamaah pengajian Kali Code untuk mengucapkan terimakasih sambil membawa bingkisan. Setelah bingkisan itu mereka buka, ternyata isinya uang Rp 300.000 rupiah. “Uang apa ini Pak AR,” kata jamaah Kali Code. “Ini uang jamaah. Terimakasih bapak-bapak dan ibu-ibu, kemarin membantu biaya opname rumah sakit. Jumlahnya ternyata kebanyakan. Biaya rumah sakit hanya 300.000 rupiah. Jadi sisanya aku kembalikan.” Jamaah kaget dan terharu. Mereka senang karena bantuannya diterima Pak AR untuk biaya rumah sakit. Tapi terharu karena kejujuran Pak AR yang mengembalikan kelebihannya! Bagiku, jika melihat kesederhanaan hidup dan keluguan Pak AR, beliau mirip orang NU di desa-desa. Wajar, karena sebagian guru ngaji Pak AR adalah kiai pesantren. Sebagian kiai NU. Tapi bila sudah berbicara negara dan organisasi, Pak AR sangat Muhammadiyah. Entah, kategori apa yang bisa disematkan kepada Pak AR. Beliau cocok bila disebut orang Nuhammadiyah; juga Muhammadinu. Tapi satu hal yang jelas, Pak AR adalah seorang Muslim tulen. Muslim yang jiwanya hidup, luwes, dan teduh. Menyejukkan.[]Sumber: pewarta-indonesia.com Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related