Kyai Bangsa Itu: Kyai Hadji Maimun Zubair, Catatan Kecil “Kyai Muhammadiyah” Netijen Sharing by Madi - August 14, 2019August 14, 2019 I’lam an-nadzilaka li ustadzika id-zuka. Wa tawadhu’ akaluhu rif ‘atuka. Wa khidmatakalahu wa barakatun-laka — Mungkin ini salah satu kebiasaanku yang menyimpang—ziarah ke ndalem para kyai dan ulama. Saya berta’dzim, mencium tangan orang-orang yang saya anggap alim. Meski saya di besarkan di keluarga Muhammadiyah ortodox. Ziarah ke ndalem para kyai dan ulama saya pikir bukan bid’ah–mencium tangan juga bukan kultus, ziarah ke kubur para ulama juga bukan musyrik–Insya Allah saya paham dan bisa membedakan. Lebih karena saya orang Jawa yang besar dan hidup dalam sebuah tradisi santun. Saya menghormati siapapun terlebih para kyai dan ulama panutan. Allahuyarham: Mbah Muslim Imam Puro, Pak AR Fakhrudin Jogja, Kyai Ali Yafie, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Marzuqi Tegal Rejo Magelang, Kyai Hasyim Muzadi Al Hikam Jengger Ayam, kyai Abdullah Hasyim Jethis, Kyai Mas Soebadar Pasuruan, Kyai Muamal Hamidi Bangil, Kyai Abdul Muhid Banaran dan para ulama lain yang masih sugeng: Buya Syafi’i Maarif Nogotirto, Kyai Musthafa Bisri Rembang, Kyai Abdullah Sahal Ponorogo, Prof Malik Fadjar Pandean, Kyai Saad Ibrahim Malang, Kyai Marzuqi Mustamar Nggasek, Kyai Adhib Fanani Kepanjen, Kyai Nuryasin Muhtadi Kapru, dan Kyai Abdullah Thahir Temas di kampungku adalah bagian dari silaturahimku. Mbah Moen jujur terlewat–meski beberapa kali saya pergi ke Kota Rembang tapi belum sempat sowan ke ndalem beliau. Berta’dzim dan mencium tangan beliau adalah keinginan yang belum kesampaian. Para kyai itu bagiku adalah guru. Tempat bertanya dan curhat. Kebiasaanku bertanya dan bertandang adalah bagian yang paling menyenangkan sekaligus membahagiakan. Duduk bersama para Kyai, adalah bagian hidup yang paling eksotik. Ada keteduhan dan kedamaian yang sulit dikatakan. Bagiku–Para Kyai adalah penjaga tradisi, guru sekaligus oase ditengah dahaga. Tak terkira sedihku ketika kabar Kyai Maimun ‘kapundhut‘. Kaget– juga haru, padahal mestinya bulan September ada rencana untuk sowan ke ndalem beliau. “Duduk bersama para Kyai, adalah bagian hidup yang paling eksotik.” Nurbani Yusuf Para Kyai adalah penjaga hati agar diri tetap tafakur dan menjaga tawadhu–kepatuhan dibangun atas dasar cinta dan berkunjung sebagai simbol dari kerendah-hatian dan keta’dziman. Agama bukan hanya soal berapa ayat Al Quran di hapal atau berapa hadits telah di-dhaif-kan. Sebab, sebagian kerap alpa, bahwa agama tak lebih hanya kumpulan aturan benar-salah, baik dan buruk. Lantas semua dipersalahkan–hanya karena tak ada dalil yang dicontohkan, agama pun mengering dan kaku. Dalam kitab Tarbiyatul Salihin disebutkan–Barangsiapa yang tidak menghormati para gurunya akan terharamkan dari ilmu yang manfaat. Dan sesiapa yang tidak menghargai kedua orangtuanya akan terhalangkan dari keberkahan rizki”. Beragamalah dengan hati–agar lahir sikap tawadhu kepada para guru dan orang tua. Belajar mengelola hati. Membuang sikap ujub dihadapkan para guru. Beberapa tak butuh pada guru dan mencukupkan pada kitab atau buku sebagai gurunya. Merasa bisa–dan tak butuh pada guru adalah kesombongan dalam bentuk lain yang spesifik. Dari para Guru dan orang tua akan kita dapatkan bukan hanya sekedar ilmu–tapi juga hikmah yang tak kau dapati pada halaqah-halaqah yang hanya bicara tentang halal haram–sahih dan dhaif … Wallahu ta’la a’lam Nurbani Yusuf Aktifis Pergerakan Muhammadiyah Santri kalong mBah Mun. Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related