You are here
Home > Netijen Sharing > Mbak Wati dan Muhammadiyah di Tanah Garam

Mbak Wati dan Muhammadiyah di Tanah Garam

Sabtu malam Ahad lalu, saya kebetulan dikirim menjadi delegasi Pelatihan Motivator Pelayanan Remaja Sehat Milik Nasyiatul Aisyiyah (PASHMINA) di STIKES Muhammadiyah Lamongan. Di Lamongan, saya bertemu banyak kader delegasi dari masing-masing daerah di Jawa Timur. Ada perwakilan dari Gresik, Bojonegoro, Sidoarjo, Madiun, Lamongan, Madura, Surabaya, Kediri, Situbondo, Pasuruan, Ponorogo, Blitar, dan lainnya.

Penulis bersama Mbak Wati, Nasyiah dari Madura

Nasyiatul Aisyiyah atau kerap disingkat NA, adalah organisasi perempuan muda di bawah Muhammadiyah, anggotanya berusia 20-an sampai 40 tahun. Jadi, uniknya menjadi kader NA adalah, kumpulnya tak cuma dengan pemudi, tapi juga dengan ibu muda, bahkan paro baya yang semangat aktivisnya selalu menggebu.

Termasuk salah satunya semangat dalam mengembangkan NA di daerah ‘minoritas’. Namanya Mbak Wati, kader NA dari Madura. Aku pertama mengenalnya di kamar, ketika baru saja aku sampai setelah perjalanan dari Malang. Ia yang baru saja datang dengan seseorang yang kemudian kukenal bernama Mbak Kiki, ribut ingin mematikan AC. Padahal, udara Lamongan panas sekali pagi itu.

Tak banyak obrolan kami di hari Sabtu. Jam 08.30 pagi sampe jam 22.00 malamnya, kami dipadatkan dengan materi pelatihan. Hanya ada beberapa menit jeda untuk shalat dan makan. Obrolan kami sedikit saja di kamar, ramai-ramai dengan teman sekamar yang lain, sebelum lalu terlelap setelah dipapar materi seharian.

Kesempatan ngobrol agak lama sama Mbak Wati baru esoknya, hari Ahad saat makan siang. Saat itu, waktu istirahat dan shalat. Lepas mengambil semangkok soto ayam khas Lamongan, aku mencari meja kosong untuk makan. Dari luar ruangan, aku melihat Mbak Wati duduk sendirian di sebuah meja panjang di dalam aula, melahap soto. Aku pun menghampirinya, bergabung.

“Mbak, gimana sih Muhammadiyah di Madura?” aku membuka obrolan di sisa waktu istirahat selepas makan. 10 menit lagi, kami harus melanjutkan sesi pelatihan.

“Aduh dek, di sana itu, Muhammadiyah itu udah bukan kayak organisasi, tapi udah kaya agama,” logat Madura Mbak Wati kental sekali menjawab.

Aku beberapa kali mendengar memang, di Madura, organisasi Muhammadiyah berdiri ‘seakan-akan’ ia adalah sebuah agama. Salah satunya dari sebuah ungkapan satir yang pernah kudengar, “Di Madura itu, 90% Islam, 10% Muhammadiyah.”

Mbak Wati lantas cerita awal mula ia ber-Muhammadiyah. “Waktu itu saya diajak ikut pengajian, Dek. Trus kok saya suka isinya, saya ngerasa cocok. Baru setelah itu saya mulai ikut kegiatan Muhammadiyah,” kisahnya.

Di Camplong, nama desa tempat tinggal Mbak Wati, sedikit sekali orang Muhammadiyah. “Kadang, Dek, saya ini, seringkali dinilai orang sekitar saya itu dengan pandangan yang tidak menyenangkan. Tapi saya diam aja, nggak peduli, Dek. Yang penting bagi saya, saya nggak merugikan orang lain,” kata Mbak Wati mantab. Tangannya memainkan sendok di mangkok bekas makan.

“Waktu saya jalan kaki dari rumah mau shalat Ied di lapangan, dan orang-orang di sekitar saya mencibir saya karena saya Muhammadiyah dan kebetulan shalat Ied duluan. Saya sih nggak peduli. Saya jalan aja terus. Saya niat aja karena Allah,”  lanjutnya lagi.

“Terus, terus, Mbak? Dengan keluarga, gimana?” tanyaku lebih banyak didorong perasaan kepo.

“Yah untungnya keluarga saya sangat memahami saya. Suami saya juga berbeda pandangan dan organisasi sama saya. Dia mengijinkan saya untuk aktif di NA, ikut semua kegiatan NA, saya menjaga kepercayaan ini. Kadang saya sampai nggak enak hati sendiri sama suami saya.”

“Bahkan, mertua saya Katholik lo, Dek,” lanjut Mbak Wati. “Jadi, toleransi dalam keluarga saya itu bener-bener, Dek. Kalau hari Natal, saya juga main ke mertua saya di Blitar, ikut kegiatan makan-makan. Tapi saya nggak datang pas tanggal 25, supaya nggak seperti ikut merayakan. Tapi saya menghargai,” katanya.

Aku makin tertarik. Tanpa kutanya, Mbak Wati lalu melanjutkan ceritanya.

“Sekarang ini Dek, saya malah bekerja di sebuah institusi milik NU. Tidak masalah, saya malah dipercaya menjadi bendahara. Kalau saya ada kegiatan NA atau Muhammadiyah, malahan saya diberi ijin,” cerita Mbak Wati.

Obrolan siang itu harus diakhiri saat pembawa acara mengumumkan peserta untuk kembali bersiap melaksanakan roleplay pelatihan. Ah, padahal aku masih ingin  bertanya lebih banyak ke Mbak Wati, lebih dari yang sekedar kuketahui dari buku atau internet.

“Saya nggak pernah minder jadi Muhammadiyah di Madura, Dek. Meski orangnya sedikit, dan sama sekali ndak mudah memperjuangkannya.”

Kalimat terakhir Mbak Wati sebelum bergegas mengembalikan mangkok, lantas kembali ke tempat duduknya. Menyisakan aku yang duduk di kursi. Merenungkan obrolan singkat ini.

Mbak Wati saja bisa, masa aku yang tinggal di kota cukup besar harus menyerah begitu saja berjuang untuk panjiku sendiri?

Malang, tengah bulan September 2017

Penulis : Isnatul Chasanah, dengan editing seperlunya oleh redaksi.

Sumber : isnamenulis.wordpress.com

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: