You are here
Home > Netijen Sharing > Memanfaatkan in Juri Time di Bulan Ramadan

Memanfaatkan in Juri Time di Bulan Ramadan

Mas Tom

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah. Semua umat Islam harusnya sepakat dengan hal tersebut. Keberkahan harus dimaknai dalam arti yang luas, termasuk batasan-batasan di dalam waktu Bulan Ramadan ini.

Keberkahan juga berlaku bagi para jamaah aliran ‘ahli hisap’ yang waktu hisapnya jelas berkurang kala Bulan Ramadan ini. Yang biasanya waktunya hisap 24 jam kini dibatasi kala habis Magrib sampai sebelum Subuh. Praktis pun itu berlaku kala habis buka puasa, rehat sejenak habis Sholat Isya dan Tarawih (kalau sempat sih sebelum berangkat Tarawih masih ‘sak udud’an’). Juga bisa dilakukan setelah Makan Sahur, itupun gak boleh banyak-banyak, daripada nanti pas puasa tenggorokan kering dan jadi godaan haus.

Ada juga yang memanfaatkan waktu jeda selisih 11 dan 23 rakaat (kan kalau Muhammadiyah ‘memakai’ 11 rakaat dan NU itu 23 rakaat). Dan ini juga hanya berlaku bagi warga MU yang minoritas (maksudnya yang suka udud alias aliran ahli hisap).

Sudah jadi lelucon ‘umum’ di kalangan warga Muhammadiyah dalam hal merokok ini. Mahzab Syafi’iyah dan Mahzab Malikiyah. Mahzab Syafi’iyah merujuk pada jaman kepemimpinan Buya Syafi’i yang menegaskan tentang larangan merokok bagi kader Muhammadiyah, nah ini yang ‘dianut’ oleh sebagian besar warga Muhammadiyah. Sementara Mahzab Malikiyah mengacu pada salah satu leader di PP Muhammadiyah yaitu pak Malik Fajar, yang kebetulan beliau adalah perokok aktif. Orang bilang ngrokoknya koyo sepur (kereta). Tentunya beliau juga waktu merokok menyesuaikan dengan waktu dan tempat. Aliran pengikut mahzab ini minoritas di kalangan warga Muhammadiyah.

Kembali ke soal jeda waktu (in Juri Time, kalau saya bilang sih) diantara waktu 11 dan 23 ini terjadi ketika saya pernah tinggal di suatu tempat, sebut saja kompleks yang kami hidup rukun karena memang kami masuk ke sana awal pendirian kompleks, bersama-sama membangun masjid di kompleks tersebut.

Karena dibangun bersama antar warga Muslim tentunya warga yang ada menganut 2 ‘aliran’ besar agama Islam yang ada, yaitu warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Maka cara beribadahnya juga saling menghormati, semisal soal Sholat Subuh dengan dan tanpa Qunut, dan juga jumlah rakaat Sholat Tarawih.

Jadwal Imam dan Penceramah juga disepakati dan dilengkapi satu sama lain. Jadi misal hari A Imam-nya dari warga Nahdliyyin maka warga yang Muhammadiyah ikut makmum sampai hitungan ke-8 lalu undur diri ke belakang, menunggu warga yang menggenapi ‘ala’ NU sampai akan sholat Witir baru gabung lagi, atau pulang dan Witir di rumahnya.

Sebaliknya jika Imam-nya dari Muhammadiyah, maka setelah usia rakaat ke-8, yang Nahdliyyin pulang ke rumah untuk menggenapi Tarawih dan Witirnya, atau menunggu yang MU selesai lalu yang Nahdliyyin lanjutkan di masjid tersebut. Pokoknya semboyannya adalah beragama itu dibuat santai saja, jangan ada friksi yang gak jelas.

Naah soal In Juri Time ini dilakukan kala kami, yang warga MU ikut Imam yang dari NU. Praktis pada ‘hitungan’ rakaat ke-8 kami off dulu ke belakang, serambi Masjid, menunggu saudara yang NU menggenapi. Sambil menunggu, daripada pulang ke rumah dan sholat sendiri, mending berjamaah, pahalanya lebih banyak dan menambah silaturahmi sesama warga (maklum kalau gak gitu, semua warga sibuk, jarang bisa ketemu). Naaah juga bagi warga minoritas ahli Hisap waktu itu dipergunakan untuk udud sembari ngobrol ngalor ngidul atau sekedar diskusi agama ala kadarnya. Lumayan sebatang dua batang, kata tetangga saya.

Namun seseorang harus jadi ‘mata-mata’ memperhatikan saudara Nahdliyyin yang sedang sholat, agar kami tidak ketinggalan Witir. Enggak lucu kan, keasyikan ngobrol dan udud-udud sampai kelewatan Witir.

Naah waktu In Juri Time selanjutnya adalah waktu menjelang Azan Subuh. Bagi ahli Hisap, tak lengkap rasanya apabila habis Sahur lalu tidak udud, asem mulut kata kawan saya.

Cuma, bagi sementara kami, bangun sahur mepet-mepet itu lebih enak daripada bangun Sahur, makan lalu tidur sebentar lalu bangun untuk Subuh dan aktivitas berikutnya. Mending bangun, makan lalu sebat dan lanjut Subuhan dan seterusnya.

Bagi warga Muhammadiyah, kami mentaati keputusan yang sesuai dengan Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih ke-31, Muhammadiyah menetapkan bahwa awal waktu subuh atau waktu munculnya fajar sadiq adalah Ketika posisi matahari berada pada ketinggian -18º. Dengan perbedaan 2 derajat dimana 1 derajat itu bernilai sekitar 4 menit maka akan ada perbedaan 8 menit dengan jadwal yang masih digunakan oleh masyarakat umum dengan standar ketinggian Matahari -20º.

Kesimpulan sederhananya, Azan Subuh yang dikumandangkan di Masjid desa kami lebih awal 8 menit. Artinya ‘start’ Puasa jadi lebih cepat 8 menit dong. Jadi kalau saya membuat jadwal Imsakiyah Ramadhan, sejak 2021 saya mesti koreksi waktu Subuh +8 menit.

Naaah bagi ahli hisab yang terbangun terlalu mepet Sahurnya, jelas ini menguntungkan sih, habis makan masih bisa sebat mepet dengan tambahan ‘in Juri Time’ 8 menit tadi. Kalau Azan Subuh di desa berkumandang maka, misal udud masih tinggal setengah tidak perlu terlalu khawatir. Masih ada waktu untuk habiskan dan bergegas ambil wudhu dan lalu Subuhan dan aktifitas seterusnya.

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: