Memilih Cara Masuk Surga: Cara Muhammadiyah atau NU? Netijen Sharing by Madi - June 11, 2020June 11, 2020 Netijen Sharing, Opini Ustadz Nurbani Yusuf, Komunitas Padang Makhsyar Kota Batu. Ini memang soal klasik dan Muhammadiyah jelas membantah, sebab nilai amal hanya dhitung dari hasil kerja individual bukan kolektif, jadi jangan harap ada kiriman doa dari tetangga sebelah rumah atau temen seperjuangan setelah meninggal kelak. *^^^*Bagi santri Muhammadiyah, Prinsip “barang siapa mengerjakan amal kebajikan maka untuk dirinya sendiri dan seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain’ dipegang kukuh —-inilah salah satu prinsip puritanisme di samping taawwun: kerja keras, kompetitif, hemat, suka membantu dan suka memberi. Belum ada kajian khusus apakah puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memiliki kemiripan dengan Protestan Ethics yang digagas Webber, satu sikap puritan yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme di Eropa paruh pertama abad 20 kala itu. Maka pertanyaan mengemuka: benarkah cara beragama Muhammadiyah sangat indvidualistik? Bahkan cenderung egois sebab apapun amal yang dilakukan cenderung berpulang pada dirinya sendiri. *^^^^*Jargon berlomba-lomba berbuat bajik (fastabiqul khairat) dimaknai sebagai ikhtiar personal untuk mendapat banyak maslahat, pun dengan prinsip sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya (khairun nas anfa’ahum lin-nas) juga kurang lebih sama. Yaitu perbuatan perbuatan individual yang diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip prinsip puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memang melahirkan ghirah, semangat kompetitif, egaliter dan menghapus kelas agama. Karena itu puritanisme juga menghapus hierarki kepatuhan, status sosial dan keistimewaan nashab, sebab semua orang dilihat setara. Kedudukan seseorang dilihat dari ke-Taqwaan sebagai representasi prestasi tertinggi—bukan atas dasar nashab atau keturunan. *^^^*Hal mana berbeda dengan fenomena keberagamaan umat Islam keseluruhan yang secara dialektik justru mengambil posisi berbalik. Di NU misalnya, prinsip jamaai dan tanggung renteng demikian kental mewarnai persepsi teologis yang dibangun secara utuh. Prinsip saling memberi syafaat misalnya, bahkan termasuk prinsip (khusushan Ila ruuhi) adalah ikhtiar saling berkirim pahala kebaikan dan pemaafan kolektif agar bisa bergotong royong berbuat kebaikan dan masuk surga, di NU juga menganut prinsip pahala tidak pernah terputus, menjadi sesuatu yang sangat menarik bahkan mungkin menjadi promo yang menggiurkan untuk mendapat banyak pengikut. Artinya, tradisi NU dan MUHAMMADIYAH ibarat dua mata uang terpisah meski punya irisan yang saling berkait —- sebab prinsip merit sistem individualistik yang ditawarkan Muhammadiyah dan prinsip kolektif gotong royong yang ditawarkan NU adalah hal yang niscaya, —antum tak perlu kawatir sebab kedua cara itu bersanad dan punya sandaran telogis kepada dua pusaka utama al Quran dan Sunah sahihah —pada akhirnya hidup memang pilihan —Wallahu taala a’lm. Sumber tulisan Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related