Merdeka Bermuhammadiyah Featured Netijen Sharing by Madi - July 18, 2020July 18, 2020 Nurbani Yusuf, Komunitas Padang Makhsyar Di Persyarikatan Muhammadiyah, Saya adalah penikmat. Sesekali menjadi aktifis. Kadang urunan untuk menghidupi, dan beberapa kali yang lain, gantian saya yang dihidupi. Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana ber-Muhammadiyah itu? Sejauh yang saya pahami, tidak ada common platform yang rigid, sebab itu setiap kita bebas bereksplor— ada banyak ruang bisa berkreasi sesuka hati. Berteman dan berkawan dengan siapapun tanpa harus saling menghakimi. Siapapun boleh menjadi Muhammadiyah tanpa keharusan mengikuti model— model puritan atau model liberal, bergaya eksklusif atau inklusif, model Buya Syafii Maarif yang intelek, Prof Amien yang lugas atau Pak AR yang zuhud, model tajdid atau ‘alon alon waton kelakon’ dari cara berpikir hingga cara berpakaian. Boleh memberi sebanyak-banyaknya atau mendapat sebanyak-banyaknya. Boleh bekerja sekeras-kerasnya atau tidur sepulas-pulasnya. Siapapun boleh memuja Habib Rizieq yang meledak-ledak atau sebaliknja saya yang menggandrungi pikiran-pikiran sosialis Islam Ali Syariati atau Karen Amstrong yang eksotik dan lebih paham Islam ketimbang orang Islam sendiri. Jangan heran ketika Saya menjadi sangat puritan ketika ketemu kawanan pemuja liberalisme atau tiba-tiba saja saya menjadi sangat liberal ketika bertemu kawanan puritan yang ortodoks. Atau Saya bisa berubah menjadi penikmat shalawat dan sufiistik bila bertemu pada kawanan yang gemar bilang bid’ah. Sebagai penikmat, saya melahab pikiran-pikiran Kyai Dahlan yang eksotik dan dinamis, kemudian saya mengunyah dan mengeksplore dengan cita rasa yang saya maui. Seperti nikmatnya menghisap cerutu atau harum aroma kopi. Bagi saya Muhammadiyah itu anti mapan, anti mainstream, bukan mengekor apalagi taqlid. Buya Syafi’i Maarif menyebut Muhammadiyah sebagai rumah besar — Prof Din mengatakan federasi pemikiran atau federasi gagasan dan saya menyebutnya etalase tempat semua kita berkhidmad dan berlomba berbuat bajik. Siapapun boleh ikut dan tinggal. Saat pertama kali digagas oleh Kyai Besar Ahmad Dahlan— tak sedikit yang melawan, gagasannya dibantah karena menabrak mapan. Yang saya suka dari kyai Dahlan adalah jiwa mudanya — pikiran dan gagasannya yang tak pernah tua. Berbalik dengan kondisi sekarang, banyak aktifis muda dengan pikiran tua. Kyai Dahlan tidak meninggalkan konsep, gagasan atau ideologi yang diwariskan — tapi menawarkan perubahan, pemajuan dan pe-modernan yang bisa dicandra dalam berbagai pikiran dan amal. Dan saya milih keduanya sekaligus sejauh yang saya mampu. Setiap kita boleh ‘bikin rumah’ semacam etalase untuk menikmati pikiran-pikiran Kyai Dahlan— itulah ‘fastabiqul khairat’ dalam makna luas yang dinamis. Bukan berebut ruang dan merasa paling, tapi berlomba bikin ruang baru. Ini rumah besar hendaklah berlapang-lapang jangan berdesak-desak. Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related