You are here
Home > Opini Media > MuhammadiNU dan NUhammadiyah

MuhammadiNU dan NUhammadiyah

oleh Simon Syaefudin

Orang NU kos di rumah orang Muhammadiyah? Jarang! Kalau tak bisa dikatakan impossible. Tapi karena aku tak tahu siapa Pak AR, maka tanpa prasangka apa pun, aku melamar kos di rumah beliau.

Jelas! Waktu aku melamar “ngekos” di rumah Pak AR di Jl. Cik Ditiro 19 A, Yogya dan aku diterima, Pak AR pasti sudah tahu latar belakang ke-NU-anku. Maklumlah aku orang Tegalgubug, Arjawinangun, Cirebon. Tegalgubug adalah desa yang full NU, sosial maupun kultural. Itu terlihat dari nama asliku. Syaefudin Zuhri. Nama idola kaum Nahdliyin.

Di hari pertama aku kos di rumah Pak AR, aku diminta jadi imam shalat. Dan Pak AR memuji bacaan Al-Quranku. Berkat sekolah SD pagi hari, madrasah sore hari, dan ngaji Al-Quran malam hari. Tentu saja bacaan Al-Quranku lumayan fasih, baik dari segi makhraj maupun tajwid.

Di Tegalgubug, saat aku kecil, masyarakat membiarkan orang tidak sekolah SD. Tapi jangan coba-coba tidak sekolah madrasah dan tidak mengaji Al-Quran. Sekolah di madrasah dan belajar membaca Al-Quran adalah kewajiban. Dan masyarakat mengawasinya.

Itulah sebabnya bacaan Al-Quran orang Tegalgubug niscaya bagus. Jika ada orang mengaku dari Tegalgubug tapi bacaan Al-Qurannya tidak bagus, niscaya itu bukan orang Tegalgubug asli. Orang Tegalgubug itu aneh. Zaman aku kecil, tahun 1970-an, mereka lebih dulu bisa membaca Al-Quran ketimbang membaca huruf latin. Entah bagaimana di zaman now. Yang pasti, sampai hari ini pendidikan agama di Tegalgubug masih tetap pilihan utama.

Usai shalat, aku ditanya Pak AR kenapa namanya jadi Syaefudin Simon. “Simon itu kan nama orang luar Jawa dan biasanya beragama Kristen,” kata Pak AR.

“Ya Pak. Nama asliku, Syaefudin Zuhri. Keluargaku pengagum KH Saifudin Zuhri, mantan Menteri Agama dari NU. Nama Simon adalah pemberian teman-teman SMA saja. Kenapa nama Simon ditempelkan ke namaku, karena penyanyi Grace Simon sering bolak-balik ke Palimanan, tempat SMA-ku. Maklum, orangtua Grace Simon bekerja di pabrik gula Gempol, Palimanan. Itu keisengan teman-teman saja.

Nama Simon kemudian ditulis di rapor dan ijasah oleh ketua kelas. Sedangkan nama Zuhri dihapus. Sejak itu, di ijasah SMA-ku tertulis nama Syaefudin Simon. Ijasah SMP dan SD, namaku Syaefudin Zuhri,” aku menjelaskan panjang lebar kepada jamaah shalat Maghrib di rumah Pak AR.

Dari segi nama asliku saja, Syaefudin Zuhri, pastilah Pak AR tahu latar belakang ke-NU-anku. Maklumlah keluargaku ngefans berat kepada tokoh NU KH Saefudin Zuhri, yang kemudian jadi menteri agama RI itu.

Pak AR tetap menyambut kedatanganku di rumahnya dengan ramah. Tak peduli aku orang NU. Waktu berkenalan dengan Rizal, anak kos lama, dia berbisik.

“Mon, di rumah ini yang NU hanya aku dan kamu. Yang lain semuanya orang Muhammadiyah. Jadi hati-hatilah.”

Rizal memang anak Pekalongan dari keluarga NU. Pesan Rizal tersebut aku ingat terus. Tapi kok lama-lama, aku pikir, orang Muhammadiyah juga baik-baik. Bersahabat dan tidak pernah menunjukkan rasa benci kepadaku. Teman sekamarku— Agus, Didi, dan Toni, ketiganya Muhammadiyah asli—semuanya baik hati dan enak diajak ngobrol. Mungkin itu pula sebabnya, Rizal yang NU, kini suka dengan orang Muhammadiyah. Bahkan sekarang jadi pengagum berat Pak AR dan pengusaha sukses Sutrisno Bachir. Yang terakhir ini, orang Muhammadiyah tulen sejak mbah buyutnya.

Di kampungku, tahun 1970-an, NU itu segala-galanya. Jika ada orang Muhammadiyah, ia jadi bahan ejekan. Kebetulan, tetanggaku, Bibi Fatimah, nikah dengan seorang kiai Muhammadiyah bernama Sholeh. Karena pengetahuan agama­nya luas, ngaji kitab kuningnya bagus, aku memanggilnya Kiai Sholeh.

Semula orang Tegalgubug tidak ada yang tahu Kiai Sholeh ini Muhammadiyah. Tapi lama-lama ketahuan juga, siapa jatidiri Kiai Sholeh. Hal ini terjadi karena Kiai Sholeh kalau shalat tidak memakai qunut; kemudian kitab-kitab yang ada di raknya bukan hanya kitab-kitab kuning yang biasa dipakai santri NU seperti Safinah, Sulam Taufik, Taqrib, dan Tijan. Tapi kitab-kitab lain yang dikarang Al-Afghani dan Al-Maturidi.

Apa akibatnya? Kiai Sholeh pun dikucilkan. Meski masya­rakat mengetahui kepinteran Kiai Sholeh, masyarakat tidak memberikan sedikit pun peluang kepada Kiai Sholeh untuk mengajar di madrasah atau pondok. Selama beberapa tahun tinggal di Tegalgubug, tak ada satu santri pun yang belajar mengaji kitab fikih atau tauhid kepada Kiai Sholeh.

Karena dicuekin, Kiai Sholeh pun pindah ke Desa Pegagan, Palimanan, Cirebon, 15 Km timur Tegalgubug. Mungkin harapannya bisa mempunyai murid atau santri di Palimanan. Harapannya memang terpenuhi. Tapi jumlah santrinya bisa dihitung dengan jari tangan. Nama-nama santrinya adalah Amin Sahri (siswa SMA), Pepen Efendi (siswa SMA), Kholik (siswa SMA), Uu Khuzaemah (siswi SMP), dan Pak Shidiq (guru SD). Aku yang waktu itu bersahabat dengan Amin Sahri (teman SMA) dan keluarganya yang Muhammadiyah, jadi ikut-ikutan nyantri kepada Kiai Sholeh.

Aku pun mulai mengerti tentang Islam versi Muhammadiyah. Karena itu ketika kos di rumah Pak AR dan kemudian tahu bahwa kos-kosan itu penghuninya sebagian besar warga Muhammadiyah, aku merasa siap untuk hidup bersama mereka. Pendek kata, Muhammadiyah itu barang aneh di Tegalgubug dan Palimanan saat itu.

Tapi begitu aku kuliah di Yogya, yang terjadi justru sebaliknya. NU jadi barang aneh di Kota Gudeg. Di Yogya yang berkibar adalah Muhammadiyah. SD, SMP, SMA, dan Universitas Muhammadiyah ada di mana-mana. Lalu Panti Asuhan Muhammadiyah, pencak silat Muhammadiyah, dan lain-lain yang serba Muhammadiyah. Institusi Muhammadiyah tersebar di hampir setiap sudut kota Yogya. Sedangkan kon­sentrasi NU hanya terlihat di Krapyak (selatan Yogya), Pandanaran (utara Yogya) dekat Kaliurang), dan Mlangi.

Tapi yang menarik perhatianku, tidak seperti di kampung Palimanan dan Arjawinangun—di Yogya hubungan antara Muhammadiyah dan NU kelihatan cair. Buktinya, aku yang NU diterima dengan baik oleh keluarga Pak AR. Setelah beberapa tahun kuliah di Yogya, aku kemudian tahu, batas antara orang Muhammadiyah dan NU makin kabur.

Pak Bambang Pranowo (almarhum, Guru Besar IAIN Jakarta, dan Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten) bercerita kepadaku bahwa beliau sering diminta Pak AR untuk menggantikannya berceramah di beberapa tempat jika Pak AR berhalangan. Padahal, kata Pak Bambang, ia waktu itu sekretaris GP Anshor (NU) di Kecamatan Sawangan, Magelang.

Kiai Jazim Hamidi, seorang dai Muhammadiyah dari Yogya, juga sering diundang ceramah Maulid Nabi dan Israk Mikraj di pesantren-pesantren NU di Kebumen dan Banyumas. Ir. Syahirul Alim, MSc—dosen kimia FMIPA UGM—adalah orang NU. Mana ada sih orang Madura Muhammadiyah? Faktanya di Yogya, Pak Alim lebih banyak aktif di Muhammadiyah.

Pak Alim yang orang NU asli Madura itu ternyata sangat dihargai Muhammadiyah. Bahkan kemudian menjadi “Muhammadiyah” karena mendapat “ruang pengajian” di gedung milik Muhammadiyah, Yogya. Pengajian tafsir Al-Quran Pak Alim di gedung Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan positif dari warga Muhammadiyah.

Lalu, nama apa yang bisa disematkan kepada Ir. Syahirul Alim? Pak Alim, mungkin, lebih tepat disebut Nuhammadiyah — karena aslinya NU tapi aktif di Muhammadiyah.

Habib Chirzin, filosof dan kiai yang sangat aku kagumi, juga sering rantang-runtung dengan KH Abdurrahman Wahid ke mana-mana. Padahal Mas Habib waktu itu adalah Ketua Pemuda Muhammadiyah.

Habib Chirzin jelas asli Muhammadiyah. Ayahnya, Kiai Chirzin dari Kota Gede Yogya, adalah tokoh Muhammadiyah tulen. Akan tetapi, dalam pergaulan sehari-hari, Habib lebih dekat dengan orang-orang NU. Orang seperti Habib, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai Muhammadinu.

Jangan lupa pula, Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, berasal dari keluarga kiai NU di NTB. Pak Din pernah jadi Ketua IPNU se-NTB. Dalam kategori tadi, Pak Din lebih cocok disebut Nuhammadiyah.

Orang-orang Muhammadiyah tak pernah mempersoalkan hal-hal seperti itu. Terbukti Pak Din dua kali menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Uniknya, ketika masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah, Pak Din sering kedatangan tamu orang-orang NU dari NTB untuk minta nasihat. Bahkan, ketika menjadi Ketua PP Muhammadiyah, Pak Din tetap menjabat sebagai dewan penasihat sebuah organisasi di bawah naungan NU.

Di Purwobinangun, sebuah desa dekat lereng Gunung Merapi, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, ada sebuah masjid kecil yang cara ibadah shalat Jumatnya unik. Bila jamaahnya masih sedikit menjelang shalat Jumat, maka azannya dua kali seperti NU. Bila jamaahnya sudah banyak, azannya satu kali seperti Muhammadiyah. Ketua takmir masjidnya adalah ketua ranting Muhammadiyah merangkap ketua Ranting NU.

Kini di banyak tempat, NU dan Muhammadiyah tampaknya sudah melebur. Almarhum Kiai Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU bercerita kalau hampir semua anak-anaknya sekolah di perguruan tinggi Muhammadiyah. Orang-orang Tegalgubug yang di zaman old anti-Muhammadiyah, di zaman now banyak yang lulusan SMA dan perguruan tinggi Muhammadiyah.

Pendeknya, generasi milenial dan kids zaman now di Tegalgubug, sudah tidak lagi mempersoalkan apa itu Muhammadiyah atau apa itu NU. Sama saja. Pinjam istilah Dr. Muslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah yang dekat dengan Gus Dur, NU itu seperti kue basah, sedangkan Muhammadiyah kue kering. Keduanya sama-sama enak. Kalau suatu ketika orang ingin kue basah, maka datang ke NU. Kalau ingin kue kering, datang ke Muhammadiyah.

Dalam penelitiannya, Prof. Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Yogya, menemukan banyak desa di Jawa Tengah yang masyarakatnya berpaham Muhammadinu. Muhammadinu seperti diilustrasikan di atas, adalah paham yang menyatukan Muhammadiyah dan NU. Mereka dengan mudah memadukan antara paham Muhammadiyah dan NU. Tanpa rikuh.
Beberapa desa di Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Klaten, misalnya, warganya banyak yang mengikuti Muhammadinu.

Belum lama ini, majalah mingguan Tempo memberitakan penemuan naskah atau kitab fikih karangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di Perpustakaan Islam Yogyakarta. Ternyata, kitab fikih karya KH Ahmad Dahlan itu mengajarkan shalat Shubuh pakai qunut, membaca ushalli sebelum takbiratul ihram, dan membaca doa usai shalat dengan suara keras (jahar) persis seperti dilakukan orang-orang NU. Jika demikian, pendiri Muhammadiyah pun bisa dikategorikan Muhammadinu. Atau Nuhammadiyah. Sama saja. Wolak walik dekok—kata orang Tegalgubug.

Beberapa tokoh Muhammadiyah seperti Prof. Dr. Din Syamsyddin, Prof. Dr. Munir Mulkhan, dan Dr. Abdul Mu’thi mengakui keaslian naskah fikih KH Ahmad Dahlan tersebut. Tapi Muhammadiyah — kata Pak Dien dan Pak Mu ‘thi — bukan Dahlanisme. Artinya, bisa saja Muhammadiyah di masa awal-awal berdirinya, fikih ubudiyahnya sama dengan NU sesuai naskah fikih KH Ahmad Dahlan. Tapi karena Muhammadiyah punya lembaga kajian fiqih (Majlis Tarjih), hukum-hukum fikih tersebut bisa berubah ketika ditemukan hadis-hadis atau tafsir Al-Quran yang lebih kompatibel dengan zamannya.

Hal yang sama terjadi pada NU. NU juga punya lembaga kajian Bahtsul Masail yang mengkaji hukum-hukum fikih. Tapi karena sifat tradisionalismenya amat kuat, keputusan hukum fikih hasil kajian Bahtsul Masail sering kalah pengaruh oleh pendapat kiai sepuh dan pertimbangan kemaslahatan orang kecil warga NU.

Itulah bedanya antara NU dan Muhammadiyah. Perbedaan itu bukan berarti Muhammadiyah lebih bagus atau NU lebih bagus—tapi memang begitulah perbedaan karakter kedua organisasi Islam besar itu. Masing-masing punya kelebihan. Dan publik zaman now memilih salah satunya, Muhammadiyah atau NU dalam beberapa hal, bukan karena terikat pada pahamnya, tapi karena kepentingannya.

Sebagai contoh kajian hukum fikih tentang rokok. Majlis Tarjih Muhammadiyah mengharamkannya karena merokok lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya. Sedangkan Bahtsul Masail memubahkannya (membolehkannya) karena industri rokok menyangkut kehidupan jutaan rakyat kecil yang notabene warga NU. Jika rokok diharamkan, apa pekerjaan jutaan wong cilik warga NU tersebut?

Sumber: pewarta-indonesia.com

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: