You are here
Home > Opini Media > Muhammadiyah dan NU Itu Bukan untuk Lucu-Lucuan

Muhammadiyah dan NU Itu Bukan untuk Lucu-Lucuan

Oleh: Ali Audah

Di Indonesia sekarang berkembang aliran baru, Garis Lucu. Ini adalah salah satu wujud perlawanan atau pemberontakan terhadap berbagai bentuk baku pemikiran mainstream.

Edward de Bono menyebut gaya ‘nyeleneh’ ini sebagai cara berpikir lateral. Orang yang terbiasa berpikir lurus (logika formal) akan terkaget-kaget dan selanjutnya hanya mesem kecut saja seakan kehilangan argumentasi untuk membantah.

Demikianlah, maka apa-apa di ‘garis-lucu’kan: KongHuCu Garis Lucu, Budha Garis Lucu, Katolik Garis Lucu, bahkan Ateis Garis Lucu. Jumlah para pengikutnya seakan lintas batas, pokoknya sesama penganut garis lucu seakan bebas-bebas saja saling keluar masuk ke tempat lain tanpa harus melepas kostum resmi mereka.

Ada yang bilang bahwa Muhammadiyah itu bukan Garis Lucu, yang Garis Lucu itu hanya NU.

Menurut saya ini sudah tidak lucu lagi. Ini sama saja mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah Garis Lurus, dan NU bukan Garis Lurus.

Sebagai pengamal Yasinan dan Shalawat Dibaan setiap malam Jumat, saya tersinggung jika ada yang mengatakan NU bukan Garis Lurus. Sama juga, sebagai alumni Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, saya juga keberatan Muhammadiyah dianggap ‘gagal branding’ sebagai Gerakan Garis Lucu.

Mungkin yang bilang Muhammadiyah bukan Garis Lucu karena lebih banyak melihat penampilan senior saya, Kanda Haedar Nashir yang memang jarang tertawa di depan umum.

Ini pasti kurang pelesir, pasti belum pernah bertemu almarhum Pak AR Fakhruddin, yang dalam khutbah Jumat di Masjid Syuhada Yogyakarta pun bisa bikin jamaah sulit menahan tawa. Joke-joke dari almarhum Pak AR Fakhruddin banyak beredar di kalangan warga Muhammadiyah.

Beberapa buku yang merekam kelucuan almarhum adalah ‘Pak AR Sang Penyejuk’ karya Simon Syaefuddin, ‘PAK A.R. & Jejak-Jejak Bijaknya’ oleh Haidar Musyafa, dan ‘Biografi Pak AR’ karangan putranya sendiri, Sukriyanto AR.

Muktamar mana coba yang paling banyak tawanya? Saya kira ini dapat menjadi salah satu ukuran organisasi mana yang boleh meraih Piagam Garis Lucu. Sekalipun di semua Muktamar sudah biasa terjadi hujan interupsi dan kasak kusuk perebutan pimpinan, tetapi di Muktamar Muhammadiyah itu sudah biasa setiap persidangan terdengar gelak tawa. Muktamar NU pun begitu. Itu bukti bahwa banyak pembicara dari Muhammadiyah juga biasa melempar joke-joke segar.

Jika disebut santri-santri NU terbiasa memplesetkan dalil-dalil, maka jangan salah, bentuk-bentuk plesetan serupa juga banyak beredar di kalangan santri Muhammadiyah. Betul bahwa organisasi yang punya pesantren terbanyak memang NU, tetapi Muhammadiyah juga punya pesantren-pesantren besar di banyak kota.

Ada pesantren yang dibangun dan berafiliasi pada universitas dan sekolah, dan ada pula pesantren yang berdiri sendiri dibawah Pimpinan Muhammadiyah Wilayah atau Daerah. Mungkin akan semakin jelas jika disebut bahwa Ginanjar dari Grup Lawak ‘Empat Sekawan’ , bahkan CakNun adalah alumni murid sekolah Muhammadiyah yang populer di tengah-tengah masyarakat.

Saya kira penempatan Muhammadiyah sebagai bukan Garis Lucu ini mungkin juga untuk mengkritik Muhammadiyah sekaligus NU. Muhammadiyah dikritik karena sering mengkritisi kekuasaan atau perilaku keagamaan yang menyimpang, sebuah kebiasaan yang dituduh berasal dari paham Wahabi.

Akan tetapi NU juga harus merasa tersindir, karena para santri banyak yang dijejali hafalan dalil, sehingga humor menjadi semacam bentuk pelarian atau relaksasi akibat kebanyakan hafalan dalil. Konon buku “Humor mati Ketawa ala Rusia” itu menjadi booming karena diolah dari guyonan para warga Rusia yang saat itu ditindas oleh pemimpin Uni Sovyet. “There’s pain in laughter”, kata Zarra Barie, sehingga wajar jika ada pepatah kuno mengatakan “humor adalah obat mujarab bagi kesedihan”.

Namun demikian, saya yakin, para ulama dan cendekiawan baik dari NU maupun Muhammadiyah tidak ada satupun yang akan berebut gelar ‘Ulama Garis Lucu’.

Bagi mereka, kemaslahatan agama dan ummat adalah segala-galanya sebagai wujud pengabdian mereka kepada Allah swt. Lucu atau tidak lucu harus dikembalikan dalam konteks narasi yang sedang berlangsung, bukan untuk menframing atau mengkotak-kotakan sebuah aliran keagamaan.

Jika maksudnya untuk melucu, sebaiknya tidak dengan menempatkan satu kelompok lebih lucu dari kelompok lain.

Bagi penggemar humor seperti saya, itu menyakitkan dan menyedihkan.

Lagi pula, berdirinya kedua ormas keagamaan ini memang tidak dimaksudkan untuk lucu-lucuan.

Lucu sekali jika para kadernya saling berebut mengklaim sebagai yang paling lucu. Nggak lucu, ah! Hehe…

Pertama kali tayang di rahma.id 10 Mei 2020

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: