You are here
Home > Netijen Sharing > Muhammadiyah dan NU: Saudara Seiman yang Kadang Bertengkar

Muhammadiyah dan NU: Saudara Seiman yang Kadang Bertengkar

Saya pernah berada dalam jebakan krisis hubungan NU-Muhammadiyah, bahkan sejak balita. Ketika bapak yang berasal dari keluarga besar yang sebagian besar pengikut Nadhatul Ulama mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah di sebuah kampung yang memang Nadhatul Ulama-nya mayoritas. Ketegangan, hingga menyeret keterlibatan aparat negara untuk menjaga stabilitas beberapa kali terjadi.

Setelah saya masuk SD saya mulai merasakan ketidaknyamanan itu. Seakan keluarga kami adalah alien atau “orang aneh” di kampung ini. Ketika saya bermain dengan teman – teman sebaya, ada beberapa momen yang membekas hingga sekarang.

“Lis itu Muhammadiyah, beda sama kamu” begitu ungkapan salah satu orang tua di suatu saat. Hal yang tentu saja sulit dimengerti bagi anak SD, kesannya kami semacam beda agama saja dengan teman-temanku itu. Oh ya, Nama saya Arif Nur Kholis, dengan nama kecil “Lis”.

Menjadi Muhammadiyah di Lingkungan NU

Bapak dan Ibu yang ketua PRM dan PRA di kampung selalu melibatkan saya dalam banyak kegiatan Muhammadiyah. Waktu itu memang Muhammadiyah melakukan banyak inovasi praktek sosial-keagamaan yang berbeda dengan kelaziman di kampungku. Seperti membuat lembaga zakat, membagi zakat dalam bentuk alat pertanian dan modal usaha, juga pengelolaan kurban yang kolektif. Waktu itu di kalangan NU belum melakukan.

Salah satu yang sangat membekas dalam ingatan adalah tugas saya sebagai “takmir” salat Jumat khusus untuk warga Muhammadiyah di desa. Karena Jumatan itu dilakukan di rumah bapak, dan saya bagian menggelar karpet dan tikar.

Saya lupa persisnya kegiatan itu berlangsung, mungkin selama 5-7 tahunan. Hal yang sama juga dilakukan untuk jamaah tarawih di bulan Ramadan.

Setelah saya lulus SD, saya “dimohon” khusus oleh bapak ibu untuk masuk SMP Muhammadiyah, di mana ibu saya mengajar di situ dan ibu sudah menjadi ketua PC Aisyiyah.

Tidak sederhana untuk menerima “permohonan” itu, karena saya lulus SD dengan rata-rata NEM sembilan koma sekian, yang artinya bebas memilih sekolah manapun. Apalagi sekolah negeri adalah favorit di kampung. Sementara SMP Muhammadiyah saat itu adalah sekolah yang jauh dari favorit, bahkan saat itu tidak punya NEM saja bisa diterima.

Kenapa saya sebut itu permohonan? Karena bapak ibu tidak memaksa saya, tapi hanya meminta dengan sangat. Kalaupun waktu itu saya menolak dan memilih masuk SMP Negeri saya yakin beliau berdua akan sangat mengerti. Apalagi wajar bagi anak sekolah yang sudah berjuang menjadi nilai kelulusan tertinggi, hadiah terbesar bagi mereka adalah sekolah favorit.

Di SMP itu saya kemudian menjadi Ketua IPM dua periode. Saat itu saya mulai berdiskusi dengan bapak-ibu, kenapa kita harus melalui jalan ninja ini, aneh-aneh mendirikan Muhammadiyah?

Keputusan yang menjadikan saya tumbuh “tidak normal” seperti teman-teman sebaya, dan berbagai hal lain. Intinya saat itu saya menggugat keputusan bapak ibu.

Apalagi di SMP itu saya kemudian tahu, bahwa anak-anak guru SMP Muhammadiyah dan tokoh Muhammadiyah di kampung saya juga nggak banyak yang menyekolahkan anaknya ke SMP Muhammadiyah sebagai wujud komitmen ber-Muhammadiyahnya.

Gara-gara Pemula

Setelah berbagi kisah dan cerita dengan bapak ibu akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa inisiatif mendirikan Muhammadiyah bukan untuk memisahkan diri dari keluarga dan warga desa yang memiliki afiliasi organisasi lain. Namun, sebagai bentuk mengorganisasikan cara berjuang yang berbeda saja dengan saudara saudara NU. Ada beberapa prinsip berbeda antara Muhammadiyah dan NU yang kemudian saya fahami sebagai hal – hal khilafiah, dan banyak juga yang berada di wilayah ijtihad.

Menurut bapak, tantangan beratnya bukan saja memahamkan orang-orang NU terkait ijtihad bapak dan teman-temannya untuk mengorganisasi gerakan dalam wadah Muhammadiyah. Namun juga tidak kalah sulitnya adalah mengendalikan teman seperjuangan yang kadang salah berkomunikasi dengan warga NU.

Saat SMP itu saya juga baru tahu bahwa insiden yang membuat kami harus menggelar jumatan di rumah selama antara 5-7 tahun itu, juga hanya karena adanya kesalah-fahaman antara personil di Muhammadiyah dan NU. Bukan sebuah desain dan kebijakan organisasi.

Di situlah saya mendapatkan ilmu kepemimpinan dari bapak bahwa memimpin orang-orang itu tidak mudah. Kadang banyak yang berinisiatif bergerak sendiri, tapi malah mengacaukan strategi.

Alhamdulillah sekarang ketegangan itu sudah berakhir. Bapak dan warga Muhammadiyah di kampung saya sudah tidak ada lagi masalah dengan warga NU. Anak-anak muda NU banyak belajar ke bapak yang memang senang mengorganisasi anak muda di kampung.

NU di kampung saya sekarang menjadi NU yang modern dengan pengelolaan sekolah, zakat, dan kurban yang terorganisasikan dengan baik. Muhammadiyah juga terus bergerak tanpa halangan. Karena ada kesadaran baru, yaitu bersama-sama memajukan kampung.

Kalau ada ketegangan lagi ya… biasa… mungkin dilakukan para pemula, dan selesai dengan cepat. lagi pula, tokoh NU di kampung juga sepupu-sepupu bapak sendiri, bukan orang lain.

Penulis Arif Nur Kholis, pertama kali tayang di ibtimes.id 05 Maret 2020

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: