You are here
Home > Netijen Sharing > Muhammadiyah: Antara yang Dikatakan Orang dan yang Kupahami

Muhammadiyah: Antara yang Dikatakan Orang dan yang Kupahami

oleh Adis Setiawan

Sebetulnya ini cerita pengalaman dimulai ketika masih umur 13 tahun, pada saat itu masih sekolah tingkat SMP. Jadi ingat ada beberapa masalah khilafiyah dalam fiqh ibadah, karena kurang mengetahui dan paham dalil. Tulisan ini bukan untuk menjadikan pro dan kontra tapi lebih kepada proses Islam yang bergembira, cerita pengalaman sebelum tahu dan ketika sudah tahu setelah itu akan menjadi lebih moderat.

Ada beberapa pengalaman penulis, yang pada waktu itu wawasannya belum ada. Maklum, bukan lulusan pondok pesantren hanya lulusan sebuah pesantren kilat. Ketika sudah tahu pendapat ulama yang lain, penulis jadi merasa bahwa ilmu agama masih kurang banyak, ternyata iperbedaan paham dalam fiqh sudah terjadi sejak dulu.

Beberapa kasus khilafiyah yang pernah dialami membuat penulis menjadi lebih moderat setelah lebih tahu tentang perbandingan Fiqh.

Celana Diatas Mata Kaki

Dahulu ketika penulis mau shalat pernah diberi pemahaman oleh seseorang, yang pasti bukan ilmu dari internet dahulu masih belum ramai media sosial pada tahun 2006. Di beri fatwa bahwa tidak boleh menggunakan celana atau sarung yang menjulur sampai menutupi mata kaki karena ada hadistnya bahwa “Sesuatu yang berada di bawah dua mata kaki dari kain sarung itu di dalam neraka”.

Selesai wudhu, celana yang menjulur dibawah mata kaki terpaksa di lipat sampai keatas mata kaki. Tapi setelah selesai shalat lipatan celana di kembalikan lagi. Lama-kelamaan jadi terbiasa melipat celana ketika mau shalat dan ketika sedang tak shalat tetap di lipat agar menjadi cingkrang diatas mata kaki. Kenapa dulu penulis tak berfikir celananya di potong saja sampai diatas mata kaki ya biar tidak ribet?

Setelah mengikuti paham Muhammadiyah dan membaca putusan fatwa tarjih Muhammadiyah, ternyata celana atau sarung kain tidak harus diatas mata kaki asalkan tidak untuk kesombongan. Yang di maksud kain dibawah mata kaki itu di Neraka karena dahulu adalah sebagai tanda atau simbol sebuah kesombongan yang nanti akan membawa ke neraka.

Dahulu, ceritanya bahwa yang menjulurkan kain dibawah mata kaki itu sebagai simbol sebuah kesombongan. Jadi, kalau tidak sombong ya tidak apa-apa, boleh mau pakai pendapat yang mana terserah yang penting tidak boleh sombong.

Bisa jadi bahwa yang celana di atas mata kaki kalau merasa paling benar sediri justru itulah suatu kesombongan tersebut. Dalam buku Islam Nusantara, yang berjudul Nash dan Realitas, Akhmad Sahal menuliskan bahwa bukan hanya satu kelompok saja yang selamat, bisa jadi satu kelompok tersebut yang tidak selamat karena merasa paling benar sendiri. Mengutip dari kitab Imam al Ghazali.

Soal Qira’at

Yang kedua soal qiraat, dulu ketika belajar ngaji qira’ah, penulis ingat banget baru sampai Surat al Kafirun. Karena dengar ada teman yang mengatakan “kata ustad saya : membaca al Qur’an kalau di lagukan itu tak boleh” akhirnya ngaji itu bubar.

Tapi setelah penulis mengikuti pengajian Muhammadiyah, biasanya sebelum di isi ceramah di awali membaca lantunan ayat al Qur’an dengan qiraah/ tilawah. Setelah itu penulis berfikir bahwa Muhammadiyah saja ketika pengajian pembukaan pakai tilawah atau qiraah kok, berarti berpendapat boleh. Jadi, yang dahulu tidak boleh seperti itu bukan pendapat Muhammadiyah. Untung penulis kembali kepada paham tarjih (mengambil pendapat yang terkuat).

Posisi Telunjuk Ketika Tasyahhud

Yang ketiga posisi jari telunjuk, pada saat shalat sedang tasyahhud awwal dan akhir, melihat cara ibadah orang yang paham ilmunya luas (menurut pandangan penulis pada waktu itu lho ya). Jari telunjuknya saat tasyahhud digerak-gerakkan, karena melihat itu jadi ikutan menggerakkan jari telunjuk. Tapi setelah membaca fatwa Tarjih bahwa jari telunjuk saat tasyahhud awwal dan akhir itu dengan keadaan diam dan diacungkan. Bahkan di acungkan dari awal bacaan sampai akhir, bukan di gerak-gerakkan.

Soal Musik

Yang keempat soal musik, dahulu penulis adalah pemain drumband. Walapun hanya bagian simbal, ikut pengajian ketika itu isi materinya tentang haramnya musik. Ketika ada karnaval di Desa Gondoarum group Drumband MI tempat sekolah penulis diundang ikut memeriahkan, tetapi sengaja tidak ingin datang karena beranggapan bahwa musik itu haram.

Ternyata ketika membaca Fatwa Tarjih, bahwa musik boleh selama isinya mengajak kepada kebaikan dan tidak memuja syaitan. Bahkan dalam kegiatan resmi Muhammadiyah hampir selalu dinyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Mars Muhammadiyah, serta tidak jarang diisi dengan hiburan seni musik.

Ziarah Kubur

Yang kelima, dulu ketika di ajak untuk Ziarah kubur oleh orang tua selalu bilang bahwa itu ritual bid’ah. Tetapi setelah membaca fatwa Tarjih Muhammadiyah, ziarah kubur kalau memang untuk muhasabah diri mengingat kematian dan mendoakan itu boleh, yang penting tidak mengkhususkan apalagi menjadi suatu yang wajib dan di tambah-tambahi ritual yang menjerumus ke syirik.

Organisasi Haram?

Yang keenam, ketika sedang kumpul bersama teman dikatakan bahwa organisasi itu haram. Penulis yang pada waktu itu sekolah di Muhammadiyah ikut ekstrakulikuler pencak silat Tapak Suci dibilangin oleh seseorang tak usah ikut organisasi-organisasian ya itu bid’ah zaman nabi tidak ada organisasi. Ketika itu penulis sampai ingin tidak mau lagi aktif kegiatan seperti Tapak Suci dll. Eh, tiba-tiba yang sering bilangin ternyata sering mengajak pengajian kesana-sini yang isinya jihad-jihad itu.

Peringatan Maulid Nabi

Ketujuh penulis masih sering ikut kegiatan maulid nabi, tapi maulid nabi yang hanya di isi ceramah pengajian dan makan bersama serta mengambil nilai-nilai suri tauladan Nabi kita. Tapi setelah ada yang menganggap bahwa Maulid nabi Bid’ah maka membuat pukulan tersendiri terhadap penulis.

Setelah ikut paham Muhammadiyah, ternyata ada pengajian yang memperingati Milad. Walapun, secara Fatwa Tarjih Muhammadiyah dinyatakan bahwa maulid tidak ada larangan dan tidak ada perintah.

Tarjih dan Tajdid: Ciri Khusus Muhammadiyah

Muhammadiyah sebetulnya mempunyai ciri khusus, Yang pertama Muhammadiyah mempunyai Majelis Tarjih, yang bertugas melakukan pengkajian, penafsiran dan penerapan ajaran dalam agama Islam. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Majelis Tarjih memegang prinsip dan metode tertentu yang tertuang dalam Manhaj Tarjih.

Jadi kalau ada Ustad atau Ulama yang fatwa-fatwanya tidak berasal dari Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, jangan terburu-buru di sebut sebagai bagian dari Warga Muhammadiyah.

Adis setiawan

Jadi kalau ada Ustad atau Ulama yang fatwa-fatwanya tidak berasal dari Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, jangan terburu-buru disebut sebagai bagian dari Warga Muhammadiyah. Boleh saja sih di sebut Muhammadiyah karena Muhammadiyah artinya pengikut Nabi Muhammad SAW.

Istilah tarjih berasal dari disiplin ilmu ushul fikih yang berarti melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling bertentangan atau evaluasi terhadap pendapat-pendapat (qoul) fikih untuk menentukan mana yang lebih kuat. Maka Muhammadiyah mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Harusnya, dalam menentukan fatwa warga Muhammadiyah mengutip HPT, bukan ustadz lain yang bahkan mengrogoti paham Muhammadiyah.

Muhammadiyah mempunyai wawasan Tadjid yang mempunyai dua arti, yakni dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan sunnah Nabi saw. Dalam bidang muammalat duniawiyah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovaif sesuai tuntunan zaman.

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: