Muktamar Ditunda: Kisah Lama Yang Terulang Kembali Featured by Madi - March 24, 2020March 24, 2020 Akibat penyebaran corona virus atau Covid-19 yang kian meningkat. Wabah ini berimbas pada penundaan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 di Surakarta. Peristiwa serupa (penundaan muktamar, -red) juga pernah terjadi pada Muktamar ke 41, yang juga dilaksanakan di Surakarta. Guna mensosialisasikan penundaan Muktamar 48 tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar rapat bersama seluruh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah serta Organisasi Otonom Muhammadiyah secara digital dalam bentuk video conference, pada Sabtu, 21 Maret 2020. Rapat Pleno Online PP Muhammadiyah tanggal 21 Maret 2020 (Sumber: suaramuhammadiyah.id) Dirilis dari suaramuhammadiyah.id, dalam telekonferensi yang pimpin langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir tersebut turut bergabung Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari yang berada di Lebanon, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad di Bandung, Bendahara PP Muhammadiyah Marpuji Ali, Ketua PP Muhammadiyah Dahlan Rais dan Rektor UMS di Surakarta, serta jajaran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berada di Jakarta. “Insyaallah kedepan kita (Muhammadiyah) akan semakin adaptif dengan teknologi informasi, sebagai bagian dari strategi dan langkah dakwah dan tajdid kita di era baru,” ujar Haedar. Kisah DIbalik Muktamar 41 Yang Juga Sempat Tertunda Penundaan muktamar 48 merupakan penundaan kedua, setelah sebelumnya, pada muktamar ke 41 juga sempat terjadi penundaan. Pada saat itu, muktamar yang seharusnya digelar pada tahun 1981 mundur sampai akhir tahun 1985. Pertama, karena ada pemilu dan pelantikan presiden, kedua karena polemik asas tunggal pancasila. Pada saat itu Ketua PP Muhammadiyah dijabat oleh Pak AR (AR Fachrudin). Berkali-kali terjadi tarik ulur dan adu argumen antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Baik antara Muhammadiyah dengan Menteri Agama maupun dengan presiden secara langsung. Tahun 1984, saya menghadap Pak Harto, mengharap beliau membuka muktamar di Solo. Pak Harto bilang, insya Allah bisa, asal Muhammadiyah menerima asas Pancasila. Saya tidak mengatakan ya atau tidak. AR FACHRUDIN Akhirnya pada hari Sabtu, tanggal 7 Desember 1995 Presiden Soeharto membuka Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta. Pembukaan muktamar yang berlangsung di Stadion Sriwedari itu ditandai dengan penekanan tombol sirene oleh Presiden (sumber: soeharto.co) Presiden Soeharto Membuka Muktamar Muhammadiyah ke 41. (Sumber: soeharto.co) Terkait polemik penerimaan asas tunggal oleh Muhammadiyah ini, Pak AR menuturkan dalam sebuah surat yang ditulisnya sendiri sebagai berikut; “Begitu di muktamar dikatakan asas Muhammadiyah adalah Pancasila, banyak orang Muhammadiyah yang menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Kepada yang masih mau mendengarkan, saya jelaskan, asas Pancasila diletakkan bukan untuk mengasasi Muhammadiyah. Muhammadiyah tetap berdasar Islam. Saya sampai mengambil perumpamaan. Begini, sebagai muslim hendak ke masjid untuk salat Jumat mengendarai sepeda motor. Negara RI mewajibkan orang yang naik sepeda motor lewat jalur helm harus pakai helm. Karenan lewat jalur helm, saya gunakan helm. Helm tersebut tidak mengubah Islam saya. Niat saya salat Jumat ikhlas dan untuk mencari ridho Allah. Anggap saja asas Pancasila sebagai helm. Sehingga, Pancasila diterima di muktamar.AR FACHRUDIN Madi, dari berbagai sumber. Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related