Rasanya Jadi Anak Muhammadiyah di Kampung yang Mayoritas NU Netijen Sharing by Madi - March 30, 2022March 30, 2022 Iradat Ungkai Indonesia memiliki dua ormas Islam besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sama-sama Islam, keduanya memiliki sedikit perbedaan dalam tata cara peribadatan. Dan kebetulan saya dibesarkan dalam keluarga yang mayoritas merupakan pengikut Muhammadiyah. Sebagai penganut Muhammadiyah, saya cukup beruntung tumbuh di lingkungan yang mayoritas NU, sebab dari sanalah saya merasakan yang namanya jadi minoritas. iradat ungkai Saat kecil, saya banyak mengalami kejadian unik yang belum tentu pernah kamu temui dalam hidup. Beginilah rasanya jadi penganut Muhammadiyah di kampung yang mayoritas NU. Cekidot! Saat kecil, saya dan kakak sering banget menertawakan satu sama lain kalau kelupaan ada prosesi kunut saat salat Subuh. Udah langsung sujud aja ๐ Musala di kampung saya berada di seberang rumah persis. Saat subuhan, sering kali saya kelupaan kalau musala saya pakai kunut. Saya sering kelewatan langsung sujud setelah rukuk rakaat kedua sebelum akhirnya berdiri lagi. Namanya bocah, salah bukannya istighfar malah cengengesan. Nggak pernah diajarkan yasinan, tapi gara-gara temen yang ngajak, jadi ikutan. Lumayan dapet jajanan :)) Setiap malam jumat, warga kampung saya berkumpul di salah satu rumah untuk baca yasin. Saya selalu diajak oleh teman, padahal orang tua saya nggak pernah ikutan. Karena rame, saya ngikut aja, toh seru juga pulangnya bisa dapat jajan. Beruntung, orang tua saya cukup toleran, nggak pernah melarang saya melakukan sesuatu di luar kebiasaan Muhammadiyah. ๐ Saya sering pisah dengan keluarga kalau salat Tarawih. Mereka salat di masjid Muhammadiyah, saya ngikut temen-temen. Perbedaan Muhammadiyah dan NU juga ada pada tata cara salat Tarawih. Muhammadiyah 11 rakaat (4-4-3), sementara NU 23 (10 kali 2 rakaat, dilanjut 2+1 rakaat). Dulu saya sering dimarahi karena misah salat sama orang tua. Mereka mencari masjid yang 11 rakaat, sementara saya salat di musala depan rumah yang 23 rakaat. Sebenarnya nggak apa-apa sih salat di sana, cuma ibu saya tahu kalau di musala saya sering bercanda karena salatnya cepet banget. ๐ Enaknya jadi orang Muhammadiyah itu saya udah tahu kapan lebaran, nggak kayak teman-teman saya yang nunggu sidang isbat. Enaknya jadi orang Muhammadiyah itu puasa dan lebaran jelas. Teman-teman saya dulu kalau nongkrong menjelang puasa atau lebaran sering bingung kapan mulai dan berhentinya puasa. Mereka mesti nunggu sidang isbat. Sementara saya sudah tahu duluan karena pakai cara perhitungan ala Muhammadiyah~ Nggak enaknya, kadang saya jadi lebaran duluan. Suasananya nggak begitu โngenaโ kalau nggak bareng. Sering banget saya sekeluarga lebaran duluan dibanding teman-teman saya. Saat yang lain masih puasa, saya sudah salat Id. Besoknya, saat yang lain salat id, saya nungguin di rumah buat ikut keliling. Rasanya beda aja gitu. Kurang dapet lebarannya kalau nggak barengan. Itulah beberapa pengalaman saya menjadi bocah Muhammadiyah di kampung NU. Dari sana saya belajar banyak hal, terutama soal perbedaan dan toleransi. Bahwa menjadi berbeda itu wajar, yang penting saling menghormati dan nggak saling merasa paling benar. Pedoman itu yang juga saya pegang ketika jadi mayoritas di antara teman kantor saya yang nonmuslim. Penulis: Iradat UngkaiSumber: Hipwee Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related
Saya pernah pengalaman soal doa Qunut ini. Saya anak Muhammadiyah yg selalu ikut ortu pindah-pindah tugas karena ayah adalah pegawai di perbankan negara. Awal SMA ayah ditugaskan di Kabupaten Jember, yg notabene kuat NU-nya. Suatu ketika waktu akhir SMA saya ujian Praktek Sholat Subuh. Karena sejak kecil saya tidak diajarkan doa Qunut, jelas saya kelabakan menghapal doa tersebut. Sampai malam menjelang esok ujian praktek ada saja kalimat yg salah atau lupa. Akhirnya, saya pasrah, tidur. Babah wis opo jare sesuk ae. Demikian pikir saya karena capek menghafal dan ngantuk. Esoknya tibalah giliran saya kena giliran praktek Sholat Subuh. Saya jalani semua tanpa doa Qunut. Selesai ucapkan salam, bahu saya di tepuk guru Agama saya, pak Nursalam (semoga beliau selalu mendapat berkah dan aliran kebaikan pada setiap huruf yg diajarkan beliau pada saya). Tanya beliau, “mas, Ndak pake doa Qunut?” ( dengan logat Madura khas beliau, beliau memang orang Madura). Sambil malu dan bingung, saya menjawab, ” maaf pak, sejak kecil saya tidak diajarkan doa Qunut, semalaman saya menghafal saya tetap tidak lancar”, sambil terbata-bata. Pak Nursalam bertanya pada saya, “lho, mas dari mana asalnya?” Saya jawab, ” maaf pak, saya dari Jogja pak, kenapa pak?” (Sambil takut-takut) Beliau lalu seakan mahfum dan tersenyum melegakan, “oooh Ndak apa-apa kalau begitu, sampeyan lulus” Saya takjub dan tidak percaya, demikian juga teman saya, pada protes. Pak Nursalam menjawab bijak, “Ndak apa-apa, mas ini lulus, tak pakai doa Qunut karena dia orang Jogja, orang Muhammadiyah”, sambil tersenyum. Saya penasaran, lalu saya bertanya pada beliau, “koq bapak paham dan maklum tho pak?” Pak Nursalam sambil tersenyum sareh menjawab, “mas, saya lulusan IAIN Sunan Kalijaga, makanya saya tau Muhammadiyah, dan kalau mas tidak pakai doa Qunut saya memaklumi. Tapi pesan bapak, tetap dihapalkan dan dipahami nggeh”. Sambil berkaca-kaca mata saya, saya jawab, “enggeh pak, matur sembah nuwun”. Demikian toleransi guru saya yg sangat bijak dan menyejukkan. Walau beliau NU tulen tapi memahami perbedaan dan tradisi. Bahkan dari ilmu-ilmu beliau yg diajarkan pada kami, Ujian Masuk Universitas Islam di Jogja untuk Ujian Agama Islam bisa saya babat habis tanpa ragu. Loading... Reply