You are here
Home > Anekdot > Saat Muhammadinu Menjadi Imam Salat Subuh di Pondok NU

Saat Muhammadinu Menjadi Imam Salat Subuh di Pondok NU

Ribuan relawan dan panitia yang terlibat dalam Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah berkumpul lagi, Ahad (11/12/2022). Mereka sarapan pagi soto dan bubur sumsum di halaman Gedung Siti Walidah, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dalam tradisi Jawa, sehabis punya gawe, makan bubur sumsum akan bisa mengembalikan kelelahan jiwa dan raga.

Terlepas dari kekurangannya, gawe Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Solo itu betul-betul menguras jiwa dan raga. Walau muktamar sudah usai, masih muncul cerita-cerita lucu, unik, dan inspiratif tentang muktamar itu. Tentu saja bukan dari arena sidang yang biasanya serius dan dingin (AC Edutorium itu dingin banget). Cerita itu dari penggembira yang datang dari berbagai daerah, dari berbagai lapisan masyarakat.

Kali ini, cerita datang dari Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan, Laweyan, Solo. Itu adalah pondok NU yang dipimpin oleh Kiai Haji Rozak Shofawi, kiai senior di Solo. Kiai Rozak juga baru diangkat sebagai Imam Besar Masjid Raya Sheikh Zayed. Itu loh, masjid sumbangan Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Muhammad bin Zayed Al Nahyan. Penggembira muktamar yang datang ke Solo banyak yang datang ke masjid baru itu, sayang saat itu belum dibuka.

Cerita datang dari Ibu Ari Hikmawati, anak pertama Mbah Kiai Rozak. Jadi, pondok tersebut menerima tamu penggembira dari Tlogotirto, Gamping, Sleman, DIY. Jumlahnya 105 orang. Mereka datang sehari sebelum pembukaan, Jumat (18/11/2022) pukul 21.00 WIB. Mereka sedianya ikut pembukaan di Stadion Manahan pada Sabtu (19/11/2022) pagi.

Singkat cerita, mereka menginap di Al Muayyad bukan atas koordinasi panitia penerima muktamar, namun inisiatif sendiri karena ada kenalan di Pondok. Yang menerima tamu saat itu pengurus senior yaitu Mas Ahmad Alfi. Sedangkan Mbah Kiai Rozak tak bisa menemuinya karena sudah malam.

Seusai makan, mereka beristirahat. Mereka sedianya ke Stadion Manahan pukul 03.00 WIB karena khawatir terlambat. Maklum, pembukaan akan dihadiri Presiden Jokowi, panitia mewanti-wanti Stadion Manahan mulai dibuka sejak Subuh. Tetapi setelah diberi tahu bahwa Manahan tak jauh dari Mangkuyudan, hanya sekitar 2 km, mereka akhirnya urung pergi ke Manahan pukul 03.00 WIB. Subuhan dulu, baru budhal.

Saat masjid pondok Al Muayyad mengumandangkan azan Subuh, para penggembira itu bergegas ke masjid. Sesudah mandi, mereka bersiap-siap salat Subuh. Baju yang dipakai juga simpel, berupa celana panjang dan kaus.

Menurut Bu Ari, subuhan di pondok Al Muayyad itu agak santai. Setelah azan, tak segera ikomat. Maklum, untuk membangunkan seribuan santri agar ngumpul di masjid butuh waktu tak sebentar. Mbah Kiai Rozak yang biasanya menjadi imam salat Subuh juga tak kesusu datang ke masjid.

Sepertinya para penggembira itu tidak sabar menunggu ikomat. Ditunggu satu menit dua menit, tak kunjung ikomat. Padahal mereka khawatir terlambat tiba di Stadion Manahan. Tiba-tiba, baru 20 menitan setelah azan usai, ada yang berinisiatif ikomat. Ternyata yang mengumandangkan ikomat adalah salah satu tamu. Saat itu, Mbah Kiai Rozak masih di rumah. Rumahnya di luar kompleks pondok namun tidak terlalu jauh.

Ini yang paling bikin gempar. Yang mengimami salat Subuh adalah tamu yang merupakan penggembira Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Padahal itu di pondok NU. Alamak, kok bisa?

“Santri belum banyak yang di masjid. Mereka pada kaget kok sudah ikomat. Yang ngimami juga bukan Mbah Kiai. Pakai kaus dan bercelana panjang lagi,” ujar Bu Ari sambil tertawa.

Mbah Muid, adik Mbah Kiai Rozak, yang rumahnya mepet masjid, juga menjadi makmum. “Saya cross check anak-anak, ternyata imamnya pakai qunut. ‘Pakai qunut, kok, Bu, tetapi tidak wiridan. Habis salat langsung pergi semua,” ujar Bu Ari menirukan ucapan santri.

Sambil guyonan, Bu Ari bilang kemungkinan yang ngimami itu Muhammadinu (Muhammadiyah-NU), karena memakai qunut. Setelah para tamu itu bertolak ke Manahan, santri melanjutkan dengan wiridan. Yang memimpin Mbah Muid.

Saat saya bilang apakah mungkin mereka takut terlambat masuk Stadion Manahan, Bu Ari mengatakan bisa jadi mereka kesusu. “Mbah Muid nutukke (melanjutkan) wiridan. Mujahadah agak panjang. Lalu dikasih wiridan. Masalahnya bukan gimana-gimana, tetapi kaget saja,” lanjut Bu Ari.

Menurut Bu Ari, dalam tradisi NU, orang berebut ndak mau ngimami. Malah ingin jadi makmum dalam salat. Istilahnya ngalap barokah. Lah ini malah berinisiatif  menjadi imam, hehehe.

Ya, cerita itu adalah mozaik dari hubungan Muhammadiyah dan NU yang menarik.

Disarikan dari Penggembira Muhammadinu, Ngimami Salat Subuh di Pondok NU

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: