Saat Siswa Muhammadiyah Hadapi Ujian Kunut di Sekolah Netijen Sharing by Madi - December 4, 2024December 4, 2024 Saya pernah pengalaman soal doa Qunut ini.Saya anak Muhammadiyah yg selalu ikut ortu pindah-pindah tugas karena ayah adalah pegawai di Bank BUMN. Awal masuk SMA, ayah Saya ditugaskan di Kabupaten Jember, yg notabene kuat NU-nya. Suatu ketika waktu akhir SMA saya ujian Praktek Sholat Subuh. Karena sejak kecil saya tidak diajarkan doa Qunut, jelas saya kelabakan menghapal doa tersebut. Sampai malam menjelang esok ujian praktek ada saja kalimat yg salah atau lupa. Akhirnya, saya pasrah, tidur. “Babah wis opo jare sesuk ae.” Demikian pikir saya karena capek menghafal dan ngantuk. Esoknya tibalah giliran saya kena giliran praktek Sholat Subuh. Saya jalani semua tanpa doa Qunut. Selesai ucapkan salam, bahu saya di tepuk guru Agama saya, pak Nursalam (semoga beliau selalu mendapat berkah dan aliran kebaikan pada setiap huruf yg diajarkan beliau pada saya). “Mas, Ndak pake doa Qunut ta?” Tanya beliau dengan logat Madura (Beliau memang orang Madura). Sambil malu dan bingung, saya menjawab, ”Maaf pak, sejak kecil saya tidak diajarkan doa Qunut, semalaman saya menghafal saya tetap tidak lancar,” sambil terbata-bata. Pak Nursalam bertanya pada saya, “Lho, mas dari mana asalnya?”Saya jawab, ”Maaf pak, saya dari Jogja pak, kenapa pak?” (Sambil takut-takut)Beliau lalu seakan mahfum dan tersenyum melegakan, “Oooh Ndak apa-apa kalau begitu, sampeyan lulus.” Saya takjub dan tidak percaya, demikian juga teman saya, pada protes.’ ,Pak Nursalam menjawab bijak, “Ndak apa-apa, mas ini lulus, tak pakai doa Qunut karena dia orang Jogja, orang Muhammadiyah” sambil tersenyum. Saya penasaran, lalu saya bertanya pada beliau, “Kok bapak paham dan maklum tho pak?”Pak Nursalam sambil tersenyum sareh menjawab, “Mas, saya lulusan IAIN Sunan Kalijaga, makanya saya tau Muhammadiyah, dan kalau mas tidak pakai doa Qunut saya memaklumi. Tapi pesan bapak, tetap dihapalkan dan dipahami nggeh”.Sambil berkaca-kaca mata saya, saya jawab, “Enggeh pak, matur sembah nuwun”. Demikian toleransi guru saya yg sangat bijak dan menyejukkan. Walau beliau NU tulen tapi memahami perbedaan dan tradisi. Bahkan dari ilmu-ilmu beliau yg diajarkan pada kami, Ujian Masuk Universitas Islam di Jogja untuk Ujian Agama Islam bisa saya babat habis tanpa ragu.(Anonymous, dari kolom komentar) Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related