Sekarang Muhammadiyah Dulu, (Semoga) Besok NU Lagi Netijen Sharing by Madi - August 4, 2019August 4, 2019 Sebagai anak yang lahir dan besar dari keluarga “hijau”, ditambah lingkungan dengan 99,99 persen berlatar belakang hijau juga, menjadikan Solikin, tokoh kita dalam tulisan ini autohijau. Solikin kecil mendapatkan pendidikan keagamaan ala NU sejak diniyah. Termasuk mengakrabi tradisi tahlilan, berjanjen, dan lainnya. Ketika ada undangan genduren dari tetangga dan kebetulan bapaknya tidak di rumah, dia menjadi badal atau wakil bapaknya. Solikin juga mengikuti pengajian rutin tiap bulan yang diadakan bergilir di rumah santri diniyah. Pengajian rutin ini hanya diikuti oleh santri yang sudah SMA. Selainn ngaji kitab tipis-tipis, salah satu agenda wajib yaitu menyanyikan mars Yaa Lal Wathon karya KH. Wahab Hasbullah. Kalau kata Pak Ustadz, mars itu isinya tentang patriotisme. Meskipun tidak tahu artinya, Solikin dan teman-temannya autosemangat dan lantang, terkadang sambil mengepalkan tangan. Kanan kiri sama saja. Pokoknya waton mengepal ben rodo wangun. Lagu cinta tanah air je. Bersekolah di Muhammadiyah Masa remaja Solikin sedikit bergoncang, seperti terkena gempa 6 MMI dengan pusat kedalaman 99 km di bawah laut. Karena tidak diterima di SMA Negeri, ia bersekolah di SMA Muhammadiyah. Dirinya mengalami benturan batin karena ia besar di lingkungan NU, tapi saat SMA diajari bermacam hal Muhammadiyah, termasuk tuntunan ibadah sesuai putusan tarjih. Ia bertanya-tanya, “Kok beda kabeh, enggak qunut, enggak ada sholawatan dengan musik, traweh cuma 8 rakaat, gek piye iki?” Dengan adanya benturan, secara otomatis ia membuat tameng-tameng. Salah satu tamengnya yaitu menyalahkan Muhammadiyah karena tidak sesuai dengan yang diajarkan Pak Ustadz. Ketika sholat ia tetap menggunakan Allahu akbar kabiro, tidak Allahumma ba’it baini. Hanya itu yang bisa dilakukan. Meskipun ketika ujian praktek ia “terpaksa” menggunakan tuntunan salat dari kitab HPT. Ini bukan persoalan keyakinan, tapi persoalan nilai rapot je. Nek elik yo ndak dimarahi mamah dan papah di rumah. Selepas SMA, Solikin melanjutkan pendidikan di kampus. Lagi-lagi Muhammadiyah. Daripada harus nyantri seperti teman-temannya yang NU, mendingan di Muhammadiyah lagi, sudah pewe, pikirnya. Dia malah ikutan organisasi mahasiswa yang berkibar di bawah Sang Surya. Dari situ, sedikit demi sedikit Solikin mulai paham dan mengalami menjadi Muhammadiyah. Tidak seperti kenangan akan mantan, ternyata benturan perbedaan antara NU dan Muhammadiyah yang pernah dirasakannya ternyata memudar bahkan hilang. Baginya (sekarang ini), ternyata Muhammadiyah juga asik. Mencari besek dari Genduren Muhammadiyah ternyata lebih praktis dan singkat, tidak seperti di NU. Lha wong cuma baca Fatihah njuk bubar kok, beseknya juga ndak kalah komplit, kadang ada I-Phone juga, tapi dalam bentuk brosur. Seperti kebanyakan aktivitas mahasiswa Islam, Solikin juga memelihara jenggot. Meskipun tidak se-cakep artis Bollywood atau selembut Wak Boyok, jenggotnya autotumbuh. Suatu ketika saat pulang kampung, selesai jumatan di masjid Solikin berjumpa dengan tetangganya yang jauh lebih tua. Tanpa diduga, orang itu memegang jenggot Solikin. “Jenggotnya bagus, sudah pindah ya sekarang?” Maksud dari pindah yang dikatakan orang tua itu yaitu pindah dari NU ke Muhammadiyah. Adaww, jenggot we kok dadi identitas, batin Solikin sambal tertawa Mak Lampir, tapi dalam hati saja. Soal jenggot Solikin juga menjadi perhatian teman-temannya (NU kabeh) saat ia nonton ndangdutan di kampung. “Wedyan, jenggote jan. wes pindah tenan po sakiki?” “Asyem lah koe, pindah apane wong iki nyong pancen seneng ngingu jenggot kak.” Jawab Solikin. Solikin masih merasa canggung ketika distempel sebagai Muhammadiyah ketika di rumah. Meskipun ia agak aktif di organisasi otonom mahasiswa Muhammadiyah, namun dalam hatinya (dia berharap) masih hijau. Bagi Solikin, NU dan Muhammadiyah sama asiknya. Di Muhammadiyah meskipun jarang kegiatan pakai sarung tapi ternyata masih bisa merokok. Baginya, sungguh adem jika sedang berada di komunitas Muhammadiyah memakai sarung dan ngobrol sembari merokok. Santuy. Untuk sementara, karena baru selesai berkarier di salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Solikin sekarang Muhammadiyah dulu, lagipula ia masih berada di kampus Muhammadiyah. Lha wong durung lulus kok piye. Nanti setelah lulus kembali beraktivitas jadi NU lagi wes. Hadrohan lagi. Kadang ya Yasinan kaya orang NU, Kadang yo Kahfian kaya orang Muhammadiyah. Meskipun enggak mesti sebulan sekali. Penting wes dijajal kabeh. Dua-duanya juga sama saja. Muhammadiyah punya KOKAM, NU punya BANSER, toh seragamnya sama-sama lorengnya. Ditambah lagi, di tahun 2019, Kemenag, Muhammadiyah, dan NU sepakat melaksanakan Idul Adha ditanggal yang sama. Persoalan sate, gule, dan tongseng, keduanya sama-sama suka. _______________ Penulis Dawan ANP, Penulis merupakan anggota komunitas literasi janasoe Share this:Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)Like this:Like Loading... Related
Saya sekilas melirik judulnya kok tergelitik…akhirnya tertarik dan menyempatkan membaca…lucu ya Solihin…tapi disitu saya menangkap banyak fenomena diluar sana Solihin2 spt itu..krna bersekolah di Muhammadiyah…jadi terbentur batinnya. Intinya dalam hidup itu semangat untuk terus belajar dan jangan menutup diri, sehingga menjadi fanatik sempit akan sebuah golongan. saya do’akan semoga perjalanan batin si Solihin dapat menemukan muaranya yang terbaik…jangan ambigu, ayo mantapkan pilihanmu. hehe Loading... Reply