You are here
Home > Opini Media > Nasib Ustaz Muhammadiyah di Media Sosial

Nasib Ustaz Muhammadiyah di Media Sosial

Saking sibuknya mendirikan, membesarkan dan mengelola amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah akhirnya kurang lihai dalam hal memproduksi dan mengemas wacana-wacana menarik yang bisa diterima dan dinikmati oleh masyarakat luas. Lebih-lebih dalam hal wacana keislaman.

Sebagai Organisasi Islam yang juga mengemban tugas dakwah, Muhammadiyah justru kekurangan dai-dai, ulama-ulama (dalam definisi ‘alim soal agama), atau ustaz-ustaz yang tenar, viral, berpengaruh, dan disambut baik oleh khalayak. Baik khalayak online ataupun khalayak offline.

Muhammadiyah kalah telak dengan jumlah ustaz-ustaz yang dimiliki oleh organisasi-organisasi Islam lain yang hanya lebih fokus ke wacana. Misal kayak HTI atau masyarakat golongan Salafi.

Dari jumlah followers Instagram saja, ustaz yang dianggap warga Muhammadiyah sudah tenar, tidak sebanding jumlah followersnya dengan ustaz-ustaz HTI dan Salafi. Misal Haedar Nashir dari Muhammadiyah yang cuma punya followers: 9155 dan Yunahar Ilyas 4734 followers (Dahnil Anzar punya 708 ribu followers sih tapi maaf, beliau bukan ustaz, hehe).

Sekarang bandingkan dengan HTI. Ada Felix Siauw dengan 3,9 juta followers dan teman kesayangannya Hawariyyun dengan 801 ribu followers. Dari Salafi ada Khalid Basalamah Official dengan 944 ribu followers, Syafiq Riza Basalamah Official dengan 908 Ribu followers, dan Firanda Andirja dengan 266 Ribu followers.

Tuh lihat! Betapa ringkih sekali jumlah followers ustaz-ustaz Muhammadiyah!

Yahya FATHUR ROZY

Oke saya tahu, mungkin kalian bertanya-tanya: Masa perbandingannya pakai jumlah followers Instagram sih? Lho, jangan menyepelekan banyaknya jamaah dari followers di Instagram.

Bisa kita lihat, betapa banyak ukhti-ukhti dan akhi-akhi fillah kita hijrah gegara melihat video satu menit di Instagram? Berapa banyak yang rela menanggalkan celana jeans isbal mahal-mahal mereka demi memakai pakian syar’i? Berapa banyak yang mengikhlaskan jilbab paris-marshanda mereka untuk dipendam di lemari demi memakai niqob supaya terhindar fitnah mata keranjang laki-laki?

Itu cukup membuktikan bahwa, dalam konteks sekarang, banyaknya followers pendakwah/ustaz di media sosial menentukan tingkat pengaruh dan keterimaan konten dakwah oleh khalayak di dunia nyata.

Sayangnya hal itu absen dari ustaz-ustaz Muhammadiyah. Tidak hanya terpuruk di Instagram, di Facebook dan Youtube pun followers ustaz Muhammadiyah juga kurang menggaung.

Di kehidupan offline pun demikian, pengajian-pengajian yang digelar oleh dan diisi kalangan Muhammadiyah sepi peminat. Mungkin salah satu penyebabnya yaitu penggunaan bahasa yang kaku dan model penyampaiannya terlampau serius. Bikin model pengajian Muhammadiyah kurang lucu, kurang santai, sehingga kurang digandrungi.

Sindiran berupa ungkapan “Muhammadiyah darurat Tawa” sekiranya benar adanya. Bandingkan saja dengan yang hadir di pengajiannya Felix Siauw, Hannan At-Taqi, Khalid Basalamah, atau Oemar Mita, pasti jamaahnya meluber-luber sampai keluar masjid.

Penulis: Yahya Fathur Rozy, sumber mojok.co

Madi
Bukan siapa-siapa. Sekadar berbagi, menampilkan sisi humor Muhammadiyah yang selama ini jarang terekspos.

Silakan berdiskusi dengan sopan dan lucu

Top
%d bloggers like this: